Berkata Asy-Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab At-Tamimi :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم“Artinya : Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Beliau -rahimahullah- memulai kitabnya ini dengan membaca basmalah sebagai
bentuk dari meneladani kitabullah yang setiap surat di dalamnya dimulai
dengan basmalah, kecuali surat At-Taubah. Hal ini juga merupakan bentuk
ittiba’ beliau kepada sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
dimana Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada surat-surat yang
beliau kirimkan kepada para raja dunia beliau memulai surat tersebut
dengan ungkapan basmalah. Hal ini juga merupakan kebiasaan para ulama dari masa ke masa, semoga Alloh merahmati mereka semuanya.
Penjelasan Kalimat Basmalah
“Basmalah adalah (ungkapan) seorang hamba yang mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim.”
(Aisarut Tafasir 1/11, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, cet. Maktabatul Ulum wal Hikam, Madinah)
Jadi Basmalah adalah sebuah
ungkapan, baik berbentuk ucapan maupun tulisan. Orang yang mengucapkan
kalimat tersebut baik dengan lisan maupun tulisannya, berarti telah
menyebut ungkapan basmalah. Selayaknya kalimat-kalimat
thayyibah yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya, kalimat basmalah ini
diungkapkan bukan tanpa maksud dan tujuan. Seseorang yang
mengungkapkannya berarti seolah ia telah mengucapkan dan bermaksud
dengan ucapnnya tadi bahwa ia hendak memulai aktivitasnya dengan
menyebut nama Allah subhanahu wata’ala serta mengingatNya
dengan berharap keberkahanNya, sebelum melakukan kegiatan apa pun, dan
dengan senantiasa memohon pertolonganNya dalam segala urusannya,
mengharap bantuanNya, sebab Allah subhanahu wata’ala adalah Dzat yang Maha kuasa melakukan segala yang dikehendakinya.
Sehingga tatkala seseorang hendak membaca
al Qur’an dia berbasmalah, maka maknanya adalah aku mengawali bacaanku
dengan memohon keberkahan nama Allah subhanahu wata’ala yang maha pemurah lagi maha penyayang dengan senantiasa memohon pertolonganNya [Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Aisarut tafasir, 1/11]
Atau bermakna pemberitahuan bahwa
sesungguhnya dia memaksudkannya hendak mengungkapkan; ”Aku hendak
membaca (surat al-Qur’an ini) dengan menyebut nama Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Demikian juga ucapan seorang hamba ‘bismillah”
tatkala hendak bangkit untuk tegak berdiri, atau hendak duduk, dan
melakukan seluruh aktivitasnya, adalah mengabarkan makna dari maksud
ucapannya itu tadi, dan bahwa ia memaksudkan dengan ucapan ‘bismillah’
adalah aku hendak berdiri dengan menyebut nama Allah subhanahu wata’ala, aku hendak duduk dengan menyebut nama Allah subhanahu wata’ala, demikian seterusnya pada seluruh aktivitasnya.[Ibnu Jarir Ath Thobary, Jamiul Bayan An Ta’wili Ayyil Qur’an, Dar Ihyai Turots Al Arobiy, 1/59,]
Jar majrur (بِ اسْمِ) di awal
ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai
dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca
basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah :
باسم الله آكل
“Dengan menyebut nama Allah aku makan”.
Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang.
- Pertama : Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah ‘Azza wa Jalla.
- Kedua : Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata: “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.
Kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal
(dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu
tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak
bisa menjadi ‘amil kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu mengapa kita katakan : “Kata kerja
setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”?,
[jawabannya] karena hal itu lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
من لم يذبح فليذبح باسم الله
أو قال صلى الله عليه وسلم : على اسم الله
“Artinya : Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah
“[Hadits riwayat Al-Bukhari, dalam kitab Al-Idain, bab : Ucapan Imam
dan makmum ketika khutbah ‘ied, no. (985). Diriwayatkan pula oleh Muslim
dalam kitab Al-Adhahi, bab : Waktu Udhiyah no. (1), (1960)]
Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah”
[Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Adz-Dzabaih wa Ash-Shaid, bab :
Sabda Nabi, “Sembelihlah dengan menyebut asma Allah”. no. (5500).
Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab : waktu
Udhhiyah, no. (2). (1960)] Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan
secara khusus disitu.
Lafzhul Jalalah (الله -Allah).
Allah Merupakan nama bagi Rabbul Alamin,
nama ini tidak boleh diberikan kepada selainNya. Nama ‘الله’ merupakan
asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).
Semua nama dan sifatNya kembali kepada ( mengiringi ) sebutan Allah,
seperti ungkapan Ar Rahman ( yang Maha Pengasih ) dan Ar Rahim ( yang
Maha Penyayang ) yang terdapat dalam kalimat bismillahirrahmanirrahim.
Ibnu Sa’di dalam tafsirnya Taisirul Karimir Rahman berkata : “Allah
adalah Zat yang harus dipertuhan dan diibadahi. Dialah yang berhak
sebagai satu-satunya yang harus diibadahi, karena semua sifat-sifat
ketuhanan sudah tersandar padaNya. Yaitu sifat-sifat yang mulia”.
Ar-Rahmaan (الرَّحْمَنِ)
Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.
Ar-Rahiim (الرَّحِيم)
Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil,
yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut. Di
sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat
Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan
kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih
sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung
dalam nama ‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim
adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan
pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata :
“Ar-rahman (Maha Pengasih) menunjukkan sifat yang ada pada Dzat Allah
Ta’ala dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) sifat yang berkaitan dengan
objeknya yaitu yang disayangi. Yang pertama sifat dzat dan yang kedua
sifat yang berkaitan dengan perbuatan. Yang pertama menunjukkan sifatNya
yang Pengasih dan yang kedua menunjukkan bahwa Dia menyayangi
makhluk-makhluk dengan memberikan rahmatNya. Jika anda ingin memahami
sifat ini maka perhatikanlah firman Allah :
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً
Artinya : “Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” [Al-Ahzab : 43]
Juga firmanNya :
إِنَّهُ بِهِمْ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
Artinya : “Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [At-Taubah : 117]
Tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an : “rahmaanu bihim”
dari situ dapat diketahui bahwa Ar-Rahman artinya Dia bersifat pengasih
dan Ar-Rahim ialah Dia bersifat penyayang dengan memberikan rahmatNya” [Bada-i’ul Fawa-id (1/24)]
Faidah PENTING!
Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat.
Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah
(kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali.
Adapun dalil akal
sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari
kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.
Sebagian orang mengingkari sifat kasih
sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini
dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak
memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih
sayang. Mereka berkata : “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan
adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu
tidak layak bagi Allah”.
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.
Pertama : Kasih sayang
itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat
raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal
itu semua.
Kedua : Kalaupun hal-hal
tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku
pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang
yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu wa Ta’ala adalah yang sesuai
dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak
akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.
Kemudian kita katakan kepada mereka :
Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang
hakiki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pemandangan yang sering
kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka,
jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang
merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat
yang sempurna.
Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah
secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan
lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lucunya, orang-orang yang mengingkari
sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima
akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah
(berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar
daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi
Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian
makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan
sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut
lebih samar dibanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah.
Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar.
Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang,
tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam
tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan
tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”
Waktu-Waktu yang Disunnahkan Memabaca Basmalah
Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengucapkan basmalah tatkala hendak melakukan sebuah aktivitas. Demikian juga, kalau kita melihat sabda-sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam maka kita pun akan dapati begitu banyak perintah atau minimalnya anjuran beliau untuk mengawali beberapa aktivitas dengan basmalah. Berikut beberapa diantaranya :
1. Hendak berwudhu
Berdasar sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam:
لاَ صَلاَة َلِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ، وَلاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Tidak sah sholatnya orang yang tidak berwudhu, dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut asma Alloh kepadanya.” (HR. Ibnu Majah 1/140/399 dan Abu Dawud 1/174/101, dihasankan oleh al-Albani dalam Shohih Ibnu Majah: 320 dan dalam Irwa’ul Gholil 1/122)
2. Hendak keluar rumah
Berdasarkan hadits dari sahabat Anas radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا خَرَجَ
الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ: بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَي
اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ
حِيْنَئِذٍ: هُدِيْتَ وَكُفِيْتَ وَوُقِيْتَ، فَتَتَنَحَّي الشَّيَاطِيْنُ,
فَيَقُوْلُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ
وَوُقِيَ.
“Apabila seseorang ketika keluar dari
rumahnya ia berkata: ‘Dengan menyebut nama Alloh, aku bertawakkal
kepada Alloh, tidak ada daya upaya dan tidak pula kekuatan selain dari
Alloh.’” Maka beliau melanjutkan sabdanya: “Dikatakan ketika itu
kepadanya: ‘Engkau telah diberi petunjuk, telah dicukupi, dan telah
dipelihara.’
Sehingga setan-setan pun berhamburan meninggalkannya,
kemudian ada setan yang lain yang berkata: ‘Apa yang bisa kamu dapati
dari seseorang yang telah diberi petunjuk dan dicukupi serta dipelihara
itu?’” (HR. Abu Dawud 4/325 dan Tirmidzi 5/490. Lihat juga Shohih Tirmidzi 3/151 dan Shohihul Jami’: 6419)
3. Hendak makan
Seperti yang tersebut dalam sebuah hadits dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu anha yang berkata:
قَالَ رَسُوْلُ
اللَّهِ: إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَاليَ،
فَإِنَّ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ فيِْ أَوِّلِهِ فَلْيَقُلْ:
بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلِهِ وَأَخِرِهِ
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian hendak makan maka
sebutlah nama Alloh Ta’ala. Kalau ia lupa menyebutnya ketika hendak
memulai makan, maka hendaklah ia mengucapkan: ‘Dengan nama Alloh di awal
dan di akhir.’”
(HR. Abu Dawud 3/347 dan Tirmidzi 4/288 dan ia berkata: “Hadits ini hasan shohih.” Dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi 2/167 dan dalam Riyadhus Sholihin Kitab Adabuth Tho’am)
4. Hendak menggauli istri
sebagaimana hadits Abdulloh bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
أَمَّا لَوْ
أَنَّ أَحَدَهُمْ يَقُوْلُ حِيْنَ يَأْتِيْ أَهْلَهُ: بِسْمِ اللَّهِ
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا
رَزَقْتَنَا، ثُّمَّ قُدِرَ بَيْنَهُمَا فِيْ ذَلِكَ أَوْ قُضِيَ وَلَدٌ
لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا.
“Adapun kalau seandainya salah
seorang di antara mereka itu tatkala hendak menggauli istrinya
mengucapkan: ‘Dengan menyebut nama Alloh, yaa Alloh jauhkanlah kami dari
setan dan jauhkanlah setan itu dari apa yang Engkau rezekikan kepada
kami’, lalu ditaqdirkan dia mendapat anak dari hubungannya tadi itu,
tidak akan ada setan yang membahayakan anak itu selamanya.” (HR. Bukhori 1/141 dan Muslim 2/1028)
5. Hendak memasukkan mayit ke dalam kubur
Berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma yang berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu apabila memasukkan mayit ke dalam kuburnya berkata:
بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللََّهِ
“Dengan menyebut nama Alloh dan berdasarkan sunnah Rosululloh.” (HR. Abu Dawud 9/32/3197 dan Tirmidzi 2/255/1051 dan Ibnu Majah 1/494/1550, dishohihkan oleh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 152)
Dan masih banyak lagi tentunya anjuran
beliau yang tidak terbatas hanya pada aktivitas yang tersebut di atas
saja. Berkata syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi hafizhahullahu ta’ala: “Dianjurkan bagi para hamba agar mengucapkan basmalah
ketika hendak makan dan minum, juga ketika hendak memakai pakaian (dan
melepasnya). Juga ketika hendak masuk dan keluar masjid, ketika hendak
berkendaraan, dan bahkan ketika hendak melakukan setiap hal yang
memiliki nilai arti penting.”
Bagaimana kedudukan hadits berikut :
كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لاَ يَبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ
Setiap hal yang memiliki nilai arti penting yang tidak diawali dengan basmalah maka hal itu akan sia-sia dari barokah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
ketika ditanya tentang hadits ini beliau memberikan jawaban sebagai
berikut : Para ulama berselisih pendapat tentang keshohihannya, sebagian
ahli ilmu menshohihkannya dan bersandar padanya semisal an-Nawawi, dan
sebagian yang lain mendho’ifkannya.
Akan tetapi, para ulama saling
menyampaikan hadits ini dengan penerimaan dan meletakkannya dalam
kitab-kitab mereka; hal ini menunjukkan bahwa hadits tersebut ada
asalnya, maka yang seyogyanya bagi seseorang berbasmalah pada setiap hal yang penting atau mengawalinya dengan memuji Alloh Azza wa Jalla.”
(Kitabul Ilmi, Syaikh Muhammad al-Utsaimin, hal. 153, cet. Daruts Tsuraya Riyadh. Lihat juga Syarah Tsalatsatil Ushul milik beliau juga dengan penerbit yang sama, hal. 17)
Beberapa Faedah dan kandungan Hukum dari “Basmalah”
Dengan mentadabburi basmalah, yang
merupakan bagian dari al-Qur’an, maka setidaknya kita bisa dapatkan
beberapa faedah yang agung lagi utama, di antaranya:
1. Kata بِسْمِ اللهِ terdapat faedah syari’at bertabarruk –mengharapkan barokah- kepada Allah subhanahu wata’ala
dengan nama-namaNya yang mana saja, sebab bila seseorang mengucapkan
basmalah sebelum beraktivitas ini menunjukkan ia minta keberkahan kepada
Allah subhanahu wata’ala dengan namaNya pada aktivitasnya.
Syeikh Abdurrohman As Sa’di dalam tafsirnya, Taisirul karimirrohman, mengatakan tentang makna berbasmalah ” aku mengawali membaca ini dengan memohon keberkahan kepada Allah subhanahu wata’ala dengan setiap nama Allah subhanahu wata’ala”
2. Kata بِسْمِ اللهِ juga memberi faedah bahwa seseorang itu hanya bertabarruk kepada Allah subhanahu wata’ala saja dan tidak kepada selainNya.
3. Lafzhul jalalah الله , ialah nama yang khusus bagi Allah subhanahu wata’ala,
yaitu bermakna Dzat Yang Dipertuhankan, Yang diibadahi, Yang berhak
diibadahi sebab keesaanNya, sebab adanya sifat-sifat yang Ia bersifat
dengannya berupa sifat-sifat ketuhanan yang merupakan sifat
kesempurnaan. [Taisirul karimirrohman, Abdurrohman As Sa’di, Lihat juga Tafsir Ath Thobari 1/ 63]
4. Tetapnya sifat Rohmah bagi Allah subhanahu wata’ala, seperti Alloh firmankan;
وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ
Artinya: “Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat”. QS. al An’am[6]:133
5. Pada lafazh
الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ terdapat faedah tentang sifat kerohmatan Alloh,
الرَّحْمَنُ berarti Dzat Pemilik kerohmatan yang sangat luas, sedangkan
الرَّحِيْمُ berarti Dzat Yang memberikan kerohmata-Nya kepada hamba-Nya
yang dikehendaki.
6. Di antara bentuk kerohmatan Allah subhanahu wata’ala
kepada para hamba adalah diperolehnya berbagai kebutuhan hidup di dunia
yang mencukupi oleh para hamba ini, bahkan terkadang berlebishan
melebihi kebutuhan mereka. Ini adalah kerohmatan Allah subhanahu wata’ala yang bersifat umum bagi seluruh hamba-Nya, yang beriman dan yang tidak beriman.
7. Di antara bentuk kerohmatan Allah subhanahu wata’ala
kepada para hamba adalah diperolehnya segala hal yang dibutuhkan untuk
kehidupan badan-badan mereka di dunia ini penuh kecukupan, dan di
akhirat diberikan sesuatu yang menegakkan din-din mereka. Dan ini adalah
kerohmatan Allah subhanahu wata’ala yang bersifat khusus bagi hamba-Nya yang beriman saja.
8. Di antara bentuk kerohmatan Allah subhanahu wata’ala
kepada hambaNya yang beriman adalah dianjurkannya mereka berbasmalah,
yang berarti dianjurkan untuk mengharapkan barokah Alloh Dzat Yang Maha
Rohmat, Yang memiliki keluasan rohmat dan memberikan kerohmatanNya
kepada para hambaNya.
9. Diantara faedah yang penting adalah, anjuran berbasmalah merupakan anjuran berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala,
dan berdzikir itu adalah salah satu jenis ibadah. Oleh karenanya ia
tidak dilakukan kecuali harus sesuai dengan adab-adab berdzikir itu
sendiri. Diantaranya tidak dilakukan dengan suara tinggi, tidak pula
sekedar di dalam hati. Ia tidak dilakukan serempak bersama-sama
sekumpulan jama’ah tertentu, tidak pula dijadikan pembuka acara-acara
tertentu dan seterusnya. Sebab itu semua tidak didapati ajarannya maupun
contohnya dari rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga tidak layak dilakukan oleh kaum muslimin seluruhnya. Wallohu a’lam.
Inilah beberapa faedah yang bisa kita
peroleh dari tadabbur kita terhadap basmalah ini, tentu ini adalah
sangat kecil dan sedikit dibandingkan dengan keagungan lafazhnya dan
kebesaran maknanya yang sesuai dengan Keagungan Allah subhanahu wata’ala dan KebesaranNya, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat, wabillahit taufiq..
Sumber :
- Artikel “Tafsir Basmalah” dari Almanhaj.or.id
- Artikel “Mendulang Faedah-Faedah Basmalah” dari Blog Ust. Abu Ammar Al-Ghoyami
- Artikel “Dahsyatnya Bacaan Basmalah” dari HijrahDariSyirikDanBid’ah
- Syarah 3 Landasan Utama Karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan [At-Tibyan – Solo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar