Jumat, 27 Maret 2015

Kadang Kesalahan Itu Ada Pada Kita

Pasangan muda yang baru menikah menempati rumah di sebuah komplek perumahan.
 

"Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri melalui jendela kaca. 

Ia melihat tetangganya sedang menjemur kain...
 

"Cuciannya kelihatan kurang bersih ya", kata sang istri.."
 

"Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar.
 

Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus."
 

Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun."
 

Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur pakaian, 

selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya...
 

Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia berseru kepada suaminya:
 

"Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar.
 

Siapa ya kira-kira yang sudah mengajarinya? "
 

Sang suami berkata, "Saya bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela kaca kita."
 

Dan begitulah kehidupan,
 

Apa yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung kepada kejernihan pikiran 

(jendela) lewat mana kita memandangnya..
 

Jika HATI kita bersih, maka bersih pula PIKIRAN kita.
 

Jika PIKIRAN kita bersih, maka bersih pula PERKATAAN kita.
 

Jika PERKATAAN kita bersih (baik), maka bersih (baik) pula PERBUATAN kita.
 

Hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita mencerminkan hidup kita...

hobi mengkritik itu tidak baik,, 

kritiklah diri sendiri sebelum mengkritik orang lain,, 

atau jika tidak ingin dikritik,, jangan suka mengkritik orang lain

Selasa, 24 Maret 2015

Carilah Teman Yang Baik


Ketika engkau sulit meninggalkan kebiasaan buruk, maka perhatikanlah siapa yang menjadi kawan akrabmu.

Karena seseorang -biasanya- akan terpengaruh perangai kawan bergaulnya.

“Seseorang berada diatas agama kawannya, maka hendaklah setiap kalian melihat kepada siapa dia berkawan” (HR. Abu Daud)

========================

Pengaruh Teman Bergaul

Teman bergaul dan lingkungan yang Islami, sungguh sangat mendukung seseorang menjadi lebih baik dan bisa terus istiqomah. 

Sebelumnya bisa jadi kita malas-malasan. Namun karena melihat temannya tidak sering tidur pagi, ia pun rajin.

Sebelumnya menyentuh al Qur’an pun tidak. Namun karena melihat temannya begitu rajin tilawah Al Qur’an, ia pun tertular rajinnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”.

(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ 3545).

Al Ghozali rahimahullah mengatakan, “Bersahabat dan bergaul dengan orang-orang yang pelit, akan mengakibatkan kita tertular pelitnya. Sedangkan bersahabat dengan orang yang zuhud, membuat kita juga ikut zuhud dalam masalah dunia. Karena memang asalnya seseorang akan mencontoh teman dekatnya.”

 “Hati-hatilah kalian dalam memilih teman, sesungguhnya teman adalah bekal di dunia dan akhirat.”

========================

Teman yang Baik adalah yang Bisa Mengajak Kita Ke Syurga

Sahabat yang baik adalah yang tulus mendoakan dan mengingatkanmu pada Allah.
 

Yang mengenal dirimu dan senantiasa menjaga ukhuwah, memberi ketenangan saat bersamanya, ada inspirasi amal shaleh saat melihatnya,
 

Dalam diamnya dia mendoakan, dalam senyumnya dia menenangkan, dalam nasihatnya dia bangkitkan semangat mencintai kebaikan…

Dunia akan terasa lebih indah apabila kita mempunyai teman yang berhati mulia,
Teman yang selalu memberikan motivasi, ikhlas memberikan nasehat, mengajak berbuat baik, melarang berbuat maksiat, suka berbagi ilmu, menjaga rahasia, menutupi aib, menginginkan kebaikan untuk kita seperti menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri..

 Yusuf bin Husain berkata,
 

Aku bertanya kepada Dzun Nun ketika ingin berpisah dengan beliau, “Dengan siapa aku mesti bermajlis/bergaul?” ,
 

beliau menjawab, “Hendaknya kamu bermajlis dengan orang yang hanya dengan melihatnya saja sudah mengingatkanmu kepada Allah Azza wa Jalla, kewibawaannya membekas di dalam hatimu, ucapannya menambah motivasimu dalam beramal, amalnya membuatmu zuhud di dunia, dan kamu tidak bermaksiat kepada Allah selama kamu berada di dekatnya. Dia menasehatimu dengan perbuatan, tidak (hanya) dengan perkataan.”

Abul Qa’qa’ mengatakan; “Seseorang harus mencari kawan yang shalih, rajin dan suka menasehati, agar (ia) selalu bisa bersamanya pada sebagian besar waktunya, saling memotivasi dalam belajar dan saling menguatkan semangat sesamanya, mengingatkannya bila ia salah, dan mendukungnya bila ia benar dan mengevaluasi apa yang telah ia hafal, baca, diskusikan, dan kaji tentang sebuah permasalahan dengan selalu bersama-sama.”
Seseorang bertanya: “kepada siapa kami harus bergaul, wahai Syaikh?”
 

Sufyan Ats Tsauri menjawab: “Dengan orang-orang yang senantiasa mengingatkanmu untuk berdzikir kepada Allah, dengan orang-orang yang membuatmu gemar beramal untuk akhirat. Dan, dengan orang-orang yang akan menambah ilmumu ketika kamu berbicara kepadanya.”

Bergaul dengan orang saleh merupakan keutamaan, sedangkan mengikuti jejak langkah mereka adalah suatu kewajiban. (Khalifah Ustman).

Janganlah engkau melibatkan diri dlm hal yg tidak bermanfaat bagimu. 

Hindarilah musuhmu dan hati-hatilah dalam berteman kecuali dengan orang yang terpercaya. 

Tidak ada orang yang terpercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. 

Janganlah berteman dgn orang jahat karena engkau akan terpengaruh menjadi jahat. 

Dan musyawarahkan urusanmu hnya dgn orang-orang yg takut kepada Allah. (Umar bin Khothob)

Sebaik2 teman adalah yg berkata pd temannya: AYO KITA PUASA SEBELUM KITA MATI. Dan seburuk2 teman adalah yg berkata pd temannya: AYO KITA MAKAN DAN MINUM SEBELUM KITA MATI. (hilyatul auliya)

Waspadalah dari kawan yang buruk, yaitu kawan yg jika engkau ingin dekat dgn Allah maka dia tak dapat membantumu, dan jika engkau melupakan Allah maka dia tak mau mengingatkanmu.

Banyak bergaul dgn orang2 sholeh adalah obat bagi penyakit hati. 

Sedangkan banyak bergaul dgn orang2 rusak adalah sumber penyakit hati. 

Maka berhati2lah dlm memilih teman dekat, dan selektiflah dlm bergaul. 

Menyendiri lbh baik daripada bergaul dgn orang2 yg buruk/jahat, dan bergaul dgn orang2 baik lbh baik drpd menyendiri. 

Rasulullah berkata: Seseorang akan mengikuti agama teman dktnya. (HR ABU DAWUD)
“Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang jika dilihat (menjadi perhatian) disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang berjalan dengan mengadu domba, memecah belah antara orang-orang yang saling cinta, dan senang untuk membuat susah orang-orang yang baik.” (HR. Ahmad 4/227, periksa juga kitab “Hashaid al-Alsun” hal. 68)

Sahabatmu yang menasehatimu adalah sahabat yang sayang padamu sehingga ingin kebaikan bagimu, adapun sahabat yang membiarkanmu dalam kesalahan tanpa menasehatimu adalah sahabat yang telah menipumu.

Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitab Mukhtasar Minhajul Qashidin, bahwa ada empat kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman.
 

[1]. Aqidahnya benar.
 

[2]. Akhlaqnya baik.
 

[3]. Bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berprilaku. Karena dapat menimbulkan mudharat.
 

[4]. Bukan dengan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis.

Orang-orang yang berilmu agama adalah orang yang kucari di setiap tempat. Mereka adalah tujuan yang selalu kucari. Dan aku menemukan keshalihan hatiku di dalam bergaul dengan mereka.
(hilyatul auliya)


Semoga Allah memudahkan dan memberi taufik untuk terus istiqomah dalam agama ini...Aamiin

Minggu, 22 Maret 2015

Puasa Tiga Hari Setiap Bulan dan Puasa Ayyamul Bidh


Kita disunnahkan berpuasa dalam sebulan minimal tiga kali. 

Dan yang lebih utama adalah melakukan puasa pada ayyamul bidh, yaitu pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah (Qomariyah). 

Puasa tersebut disebut ayyamul bidh (hari putih) karena pada malam-malam tersebut bersinar bulan purnama dengan sinar rembulannya yang putih.

Dalil Pendukung

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: 1- berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2- mengerjakan shalat Dhuha, 3- mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1178)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari no. 1979)

Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2425. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan).

Dari Ibnu Milhan Al Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu Daud no. 2449 dan An Nasai no. 2434. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2347. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Namun dikecualikan berpuasa pada tanggal 13 Dzulhijjah (bagian dari hari tasyriq). Berpuasa pada hari tersebut diharamkan.

Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Hanya Allah yang memberi taufik untuk beramal sholih.

Pelajaran Penting
  1. Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Puasa tiga hari setiap bulannya boleh dilakukan pada sepuluh hari pertama, pertengahan bulan atau sepuluh hari terakhir dari bulan Hijriyah, atau pula pada setiap sepuluh hari tadi masing-masing satu hari. Puasa tersebut bisa pula dilakukan setiap pekan satu hari puasa. Ini semuanya boleh dan melakukan puasa tiga hari setiap bulannya ada keluasan melakukannya di hari mana saja. Oleh karena itu, ‘Aisyah mengatakan, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau di awal, pertengahan atau akhir bulan hijriyah)”.”[6]
  2. Hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid. Ada pula yang mengatakan bahwa ayyamul biid adalah hari ke-12, 13 dan 14. Namun pendapat pertama tadi lebih kuat.
  3. Hari ini disebut dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.
Faedah Puasa Tiga Hari Setiap Bulan
  1. Menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Melakukan puasa tiga hari setiap bulannya seperti melakukan puasa sepanjang tahun karena pahala satu kebaikan adalah sepuluh kebaikan semisal. Berarti puasa tiga hari setiap bulan sama dengan puasa sebanyak tiga puluh hari setiap bulan. Jadi seolah-olah ia berpuasa sepanjang tahun.[7]
  3. Memberi istirahat pada anggota badan setiap bulannya.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
9 Rabi’ul Awwal 1431 H

Referensi:


[1] HR. Bukhari no. 1178.
[2] HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. An Nasai no. 2345. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Ash Shohihah no. 580.
[4] HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[5] HR. Bukhari no. 1979.
[6] Syarh Riyadhus Sholihin, 3/470.
[7] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di Syarh Riyadhus Sholihin, 3/469
Muslim.Or.Id
Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy Syafi’i, Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, tahun 1431 H, hal. 357-358.

Jumat, 20 Maret 2015

Karena Wanita Ingin Dimengerti



Tips untuk para suami agar rumah tangga senantiasa harmonis ()

Termasuk dalam kemuliaan seorang suami adalah dengan sengaja mendatangi orangtua dari istrinya di kala sendirian lalu bertanya kepada keduanya. 


'Wahai ayahanda dan ibunda, Sungguh aku adalah lelaki asing yang telah Allah halalkan untuk anakmu. Maka aku tidak akan kembali kepadanya sebelum ayahanda dan ibunda ceritakan apa yang biasa kalian lakukan dan berikan kepadanya ketika dia sakit hingga dia sembuh sedia kala? 

Kebiasaan dan hiburan apa yang membuatnya kembali berbahagia bila dia mendapatkan kemuraman? 

Makanan apa yang dia sukai ketika pagi hari, siang dan malam? 

Hadiah apa yang dia inginkan bila kalian berdua kembali dari safar yang jauh? 

Kesalahan apa yang sering dia lakukan dan bagaimana cara terbaik bagiku untuk menasehatinya? 

Adakah dia mengalami kesulitan yang sangat setiap kali dia dalam keadaan haid? 

Tempat liburan mana yang dia senangi? 

Guru manakah yang dia hormati? 

Teman akrab mana yang dia cintai?'

Maka setiap jawaban dari kedua orang tua istrimu adalah tuntunan kita dalam berlaku lemah lembut kepada istri kita. 


Ingat, kita hanyalah orang asing yang baru di halalkan. 

Janganlah kehadiran kita mengubah kebaikan yang selama ini telah di dapatkan dari kedua orangtuanya. 

Kehadiran kita seharusnya menyempurnakan, bukan mengurangi, atau lebih buruk lagi menghilangkan kebaikan yang ada pada dirinya.

disalin dari status Akh Rahmat Idris Hafidzhahullah

Rabu, 18 Maret 2015

Aku,, Kamu,, Kita semua bukan Hakim


Sebuah kapal pesiar mengalami kecelakaan di laut dan akan segera tenggelam. 

Sepasang suami istri berlari menuju ke skoci untuk menyelamatkan diri. 

Sampai di sana, mereka menyadari bahwa hanya ada tempat untuk satu orang yang tersisa. 

Segera sang suami melompat mendahului istrinya untuk mendapatkan tempat itu. 

Sang istri hanya bisa menatap kepadanya sambil meneriakkan sebuah kalimat sebelum skoci menjauh dan kapal itu benar-benar menenggelamkannya.

Guru yang menceritakan kisah ini bertanya pada murid-muridnya, “Menurut kalian, apa yang istri itu teriakkan?”

Sebagian besar murid-murid itu menjawab, “Aku benci kamu!” “Kamu tau aku buta!!” “Kamu egois!” “Nggak tau malu!”

Tapi guru itu kemudian menyadari ada seorang murid yang diam saja. 

Guru itu meminta murid yang diam saja itu menjawab. 

 Kata si murid, “Guru, saya yakin si istri pasti berteriak, ‘Tolong jaga anak kita baik-baik’”.

Guru itu terkejut dan bertanya, “Apa kamu sudah pernah dengar cerita ini sebelumnya?”

Murid itu menggeleng. “Belum. 

Tapi itu yang dikatakan oleh mama saya sebelum dia meninggal karena penyakit kronis.”

Guru itu menatap seluruh kelas dan berkata, “Jawaban ini benar.”

Kapal itu kemudian benar-benar tenggelam dan sang suami membawa pulang anak mereka sendirian.

Bertahun-tahun kemudian setelah sang suami meninggal, anak itu menemukan buku harian ayahnya. 

Di sana dia menemukan kenyataan bahwa, saat orang tuanya naik kapal pesiar itu, 

mereka sudah mengetahui bahwa sang ibu menderita penyakit kronis dan akan segera meninggal. 

Karena itulah, di saat darurat itu, ayahnya memutuskan mengambil satu-satunya kesempatan untuk bertahan hidup. 

Dia menulis di buku harian itu, “Betapa aku berharap untuk mati di bawah laut bersama denganmu. 

Tapi demi anak kita, aku harus membiarkan kamu tenggelam sendirian untuk selamanya di bawah sana.”

Cerita itu selesai. Dan seluruh kelas pun terdiam.

Guru itu tahu bahwa murid-murid sekarang mengerti moral dari cerita tersebut, 

bahwa kebaikan dan kejahatan di dunia ini tidak sesederhana yang kita sering pikirkan. 

Ada berbagai macam komplikasi dan alasan di baliknya yang kadang sulit dimengerti.

Karena itulah kita seharusnya jangan pernah melihat hanya di luar dan kemudian langsung menghakimi, apalagi tanpa tahu apa-apa.

Mereka yang sering membayar untuk orang lain, 

mungkin bukan berarti mereka kaya, tapi karena mereka menghargai hubungan daripada uang.

Mereka yang bekerja tanpa ada yang menyuruh, 

mungkin bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka menghargai konsep tanggung jawab.

Mereka yang minta maaf duluan setelah bertengkar, 

mungkin bukan karena mereka bersalah, tapi karena mereka menghargai orang lain.

Mereka yang mengulurkan tangan untuk menolongmu, 

mungkin bukan karena mereka merasa berhutang, tapi karena menganggap kamu adalah sahabat.

Mereka yang sering mengontakmu, 

mungkin bukan karena mereka tidak punya kesibukan, tapi karena kamu ada di dalam hatinya...

 Berbaik sangkalah selalu, sebagaimana Rasulullah pun mengingatkan kita,
 

"Janganlah seseorang diantara kamu meninggal dunia kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah" (HR. Muslim)


#‎RZ

Nasab Nabi Muhammad



Nasab atau garis keturunan adalah sesuatu yang sangat dijaga dan diperhatikan oleh Islam. 

Demikian kuatnya Islam dalam memperhatikan nasab, ia pun dijadikan salah satu dari lima hal yang wajib dijaga dalam Islam. 

Karena itu Islam melarang perzinahan, salah satu hikmahnya agar nasab terjaga.

Perhatian Islam terhadap nasab juga dengan menjadikannya salah satu indikator kedudukan seseorang. 

Apabila seorang laki-laki hendak menikahi seorang wanita, maka salah satu faktor yang dipertimbangkan adalah nasabnya. 

Walaupun nasab bukan segalanya karena kedudukannya masih kalah dibanding faktor ketakwaan.

Demikian juga dengan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau juga memiliki keutamaan nasab. 

Beliau merupakan keturunan orang-orang pilihan di setiap generasinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ان الله اصطفى من ولد ابراهيم اسماعيل . واصطفى من ولد اسماعيل بنى كنانة . واصطفى من بنى كنانة قريشا . واصطفى من قريش بنى هاشم . واصطفانى من بنى هاشم

“Sesungguhnya Allah memilih Ismail dari anak-anak keturunan Ibrahim. 
Dan memilih Kinanah dari anak-anak keturunan Ismail. 
Lalu Allah memilih Quraisy dari anak-anak keturunan Kinanah. 
Kemudian memilih Hasyim dari anak-anak keturunan Quraisy. 
Dan memilihku dari anak keturunan Hasyim.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

Sebagai umat Nabi Muhammad kita pun selayaknya mengenal nasab beliau. Berikut ini nasab lengkap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nasab Nabi Muhammad

Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan (Ibnu Hisyam: Sirah an-Nabawiyah, 1:1) bin Ismail bin Ibrahim.

Tidak ada perselisihan di kalangan ahli sejarah bahwa Adnan adalah anak dari Nabi Ismail ‘alaihissalam

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Arab Adnaniyah atau al-Arab al-Musta’rabah.

Para ahli sejarah membagi orang-orang Arab menjadi tiga golongan:

Pertama: al-Arab al-Baidah (العرب البائدة) mereka adalah orang-orang Arab kuno yang sudah punah. Seperti kaum ‘Aad, Tsamud, Kan’an, dll.

Kedua: al-Arab al-‘Aribah (العرب العاربة) mereka adalah orang Arab asli dari keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan. Karena itu, mereka juga disebut Arab Qahthaniyah. Mereka berasal dari Yaman.

Ketiga: al-Arab al-Musta’robah (العرب المستعربة) mereka adalah orang yang ter-arabkan dari keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam
Mereka dikenal dengan Arab Adnaniyah (al-Mubarakfury: ar-Rahiq al-Makhtum, Hal: 16).

Mengapa Arab Adnaniyah disebut al-Arab al-Musta’robah, orang yang ter-arabkan, karena nenek moyang mereka Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam bukanlah seorang yang berasal dari Jazirah Arab.

 Nabi Ibrahim berasal dari Irak (Utsman al-Khomis: Fabihudahum Iqtadir, Hal:113). 

Kemudian beliau membawa anaknya Ismail ke Jazirah Arab.

Nabi Ismail menetap di sana, menikah dengan orang-orang setempat, dan memiliki keturunan.

Inilah yang menyebabkan keturunan Nabi Ismail ini disebut dengan al-Arab al-Musta’robah.

Para ulama berpendapat siapapun yang nasabnya sampai kepada Hasyim, maka dia adalah keluarga ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Berbeda dengan orang-orang Syiah yang hanya mengkategorikan ahlul bait Nabi hanya dari anak keturunan Ali dan Fatimah saja.

Ayah dan Ibu Nabi Muhammad

Ayah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdu Manaf. 
 
Kakek Nabi, Abdul Muthalib, awalnya memiliki anak yang sedikit dan kaumnya meremehkannya. Sebagai seorang yang ditokohkan namun memiliki anak yang sedikit, padahal parameter kemuliaan di zaman itu adalah banyaknya anak, terutama anak laki-laki. 

Karena hal itu, Abdul Muthalib bernadzar seandainya dikaruniai 10 orang anak lagi, maka ia akan mengorbankan (menyembelih) salah satu anaknya untuk dipersembahkan kepada Allah.

Saat ia mengundi nama-nama anaknya yang keluar adalah nama Abdullah, padahal Abdullah adalah anak kesayangannya. 

Orang-orang Quraisy, paman-paman Abdullah dari Bani Makhzum melarang Abdul Muthalib merealisasikan nadzarnya. Akhirnya disepakati 100 onta dikorbankan sebagai ganti Abdullah.

Setelah cukup usia, Abdullah dinikahkan dengan Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab. 

Ia adalah perempuan yang paling mulia di kalangan Quraisy, baik dari segi nasab maupun kedudukan sosial.

Beberapa waktu setelah pernikahan keduanya, Abdullah pergi menuju Syam untuk berdagang. 

Ketika hendak kembali ke Mekah, ia jatuh sakit sehingga ia pun tinggal di tempat paman-pamannya di Madinah. 

Kemudian Abdullah wafat di kota yang kelak menjadi tempat hijrah anaknya ini. 

Ia dimakamkan di rumah an-Nabighah al-Ja’di. Saat itu usia Abdullah baru 25 tahun dan ia sedang menanti kelahiran anak pertamanya.

Beberapa tahun kemudian, Aminah menyusul kepergian sang suami. Saat itu anak pertama mereka Muhammad bin Abdullah baru menginjak usia 6 tahun (Ibnu Hisyam: Sirah an-Nabawiyah, 1:156).

Paman dan Bibi Nabi
Abdul Muthalib memiliki 12 orang anak, enam laki-laki dan enam perempuan. Anak-anak Abdul Muthalib yang laki-laki adalah Abbas, Abdullah, Hamzah, Abu Thalib, az-Zubair, al-Harits, Hajl, al-Muqawwim, Dhirar, dan Abu Lahab (namanya adalah Abdul Uzza). 

Dari nama-nama ini, kita ketahui bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki 6 orang paman.
Empat orang paman beliau menjumpai masa-masa Islam. Mereka adalah Abu Thalib, Abu Lahab, namun keduanya tetap dalam kekufuran mereka, tidak memeluk Islam hingga mereka wafat. 

Dua orang lainnya adalah Hamzah dan Abbas, keduanya memeluk Islam dan wafat sebagai seorang muslim, radhiallahu ‘anhuma.

Adapun anak-anak perempuan Abdul Muthalib ada enam orang. Mereka adalah Shafiyah, Ummu Hakim al-Baidha, ‘Atikah, Umaimah, Arwa, dan Barrah (Ibnu Hisyam: Sirah an-Nabawiyah, 1:108-110).

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
 

Artikel www.KisahMuslim.com

Islam, Iman dan Ihsan



Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. 

Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. 

Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?


Islam Mencakup 3 Tingkatan

Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. 

Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, 

maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”

Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). 

Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). 

Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.

Tingkatan Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam 

beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). 

Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.


Tingkatan Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. 

Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”

Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. 

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, 

akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).


Tingkatan Ihsan

Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. 

Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. 

Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, 

oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). 

Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. 

Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. 

Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)


Muslim, Mu’min dan Muhsin

Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. 

Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. 

Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. 

Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). 

Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. 

Tingkatan pertama yaitu islam, 
kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, 
kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)

Kesimpulan

Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. 

Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. 

Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. 

Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? 

Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). 

 Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. 

Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
 

Artikel www.muslim.or.id

Antara Alquran, hadis qudsi, dan hadis nabawi:

 

Antara Alquran, hadis qudsi, dan hadis nabawi:

  1. Alquran: lafadz dan maknanya, keduanya dari Allah Ta’ala.
  2. Hadis qudsi: maknanya dari Allah, sedangkan lafadznya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  3. Hadis nabawi: lafadz dan maknanya keduanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perbedaan hadis qudsi dengan Alquran:

  1. Alquran, lafadznya dari Allah, sedangkan hadis qudsi, lafadznya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Membaca Alquran dinilai sebagai ibadah, baik paham maknanya maupun tidak. Sedangkan semata-mata membaca hadis qudsi tanpa maksud mempelajarinya, tidak dihitung sebagai ibadah.
  3. Membaca Alquran mendapat pahala per huruf. Sementara pahala per huruf ini tidak ada dalam hadis qudsi.
  4. Alquran dibaca ketika shalat, sedangkan hadis qudsi tidak boleh dibaca ketika shalat.
  5. Alquran mendapat jaminan penjagaan dari segala bentuk penyelewengan, sedangkan hadis qudsi tidak mendapat jaminan. Karena itu, ada hadis qudsi yang dhaif, palsu, mungkar, dst. Sebagaimana penilaian yang berlaku untuk semua hadis.
  6. Alquran sampai kepada kita secara mutawatir dan disepakati oleh kaum muslimin. Sedangkan hadis qudsi ada yang statusnya ahad.
Allahu a’lam

Disarikan dari buku: Mushtalah al-Hadis, karya: Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)  
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Selasa, 17 Maret 2015

Antara Ulama Dan Ahli Hadits


عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍوقَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الْأَعْمَشِ فَسَأَلَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ , وأَبُو حَنِيفَةَ جَالِسٌ , فَقَالَ الْأَعْمَشٌ: يَا نُعْمَانُ قُلْ فِيهَا فَأَجَابَهُ , فَقَالَ الْأَعْمَشُ: «مِنْ أَيْنَ قُلْتَ هَذَا؟» فَقَالَ: مِنْ حَدِيثِكَ الَّذِي حَدَّثْتَنَاهُ , قَالَ: «نَحْنُ صَيَادِلَةٌ وَأَنْتُمْ أَطِبَّاءُ»

Ubaidullah ibn ‘Amr berkata,”Ada seorang lelaki yang mendatangi Al-A’masy, lalu lelaki ini bertanya pada Al-A’masy mengenai suatu perkara, sedangkan tatkala itu Abu Hanifah sedang duduk (di dekat Al-A’masy -pen). 

Al-A’masy berkata, “Wahai Nukman, sampaikan pendapatmu mengenai masalah ini.” 

Kemudian Abu Hanifah pun menjawab pertanyaan tersebut. Al-A’masy bertanya pada Abu Hanifah, “Dari manakah sumber pendapatmu ini berasal?”, lalu Abu Hanifah menjawab, “dari hadits yang engkau sampaikan.” 

Al-A’masy kemudian berkata, “kami (ahlul hadits) adalah apoteker, sedangkan kalianlah (ahlul fiqh) yang menjadi dokternya”
 

(dinukil dari kitab, Al-Faqih wal Mutafaqqih, Juz II, hal.163, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Maksud perumpamaan apoteker dan dokter adalah: Ahlul hadits yang mencari, mengumpulkan, menghafal dan menyampaikan suatu hadits, namun para fuqaha (ahlul fiqh) lah yang bisa memahami hadits tersebut, lalu ber-istinbath (menggali dan menetapkan suatu hukum dari suatu dalil) dengan hadits tersebut. 

Sebagaimana pekerjaan apoteker yang mempelajari disiplin ilmu tentang obat-obatan, mengetahui secara detail hal ihwal suatu obat, mengumpulkan bahan obat-obatan kemudian meraciknyadengan takaran yang tepat sesuai dengan resep yang diberikan dokter, dan dokter lah yang memilih dan membuat resep obat apakah yang cocok dengan diagnosa penyakit yang diderita si pasien.

Pesan moral

  1. Seseorang harus mencari dan memahami dalil (sumber pijakan) tentang hukum sesuatu. Jangan hanya menyandarkan kepada dalil yang telah dia hafal saja, karena bisa jadi dia dapat dengan lihai menghafal hadits, namun dia tidak memahami apa yang dia hafalkan. 
  2. Pentingnya mempelajari ilmu fiqh
  3. Pentingnya mempelajari ilmu alat (suatu ilmu yang dapat digunakan sebagai media untuk mempelajari ilmu lainnya) seperti ilmu hadits ini.
  4. Hendaknya seseorang tidak hanya mencukupkan diri untuk menghafal dalil atau memahami dalil saja, namun gabungkanlah antara memahami dan menghafalkannya.

Maratib ilmu

Urutan (maratib) dalam menuntut ilmu adalah:
  1. Mendengarkan
  2. Memikirkan (merenungkan)
  3. Menghafalkan
  4. Menyampaikan
(diringkas dari kitab Miftah Dar As-Sa’adah Juz I, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Faidah

Apakah kita merasa sangatlah bodoh, hingga masih banyak yang belum kita lakukan dan pelajari? Maka, tuntutlah ilmu dan raih keutamaannya. 

Apakah masih sempat membiarkan pikiran kita mengembara tak tentu arahnya? Sibukkanlah saja waktu dan umur hidup kita dengan kegiatan yang bermanfaat, karena semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. 

Apakah pelajaran tentang kematian dan kejadian-kejadian setelahnya masih belum mencukupi bagi kita menjadi sebuah pelajaran? maka, persiapkanlah bekal bagi diri kita dalam menghadapi kekalnya akhirat yang tiada batasnya. 

 Apakah adanya balasan atas perbuatan kita hanya isapan jempol semata? maka ingatlah itu sebagai sebuah penggerak perbuatan kita.


Penulis: Fatihdaya Khoirani

Artikel Muslimah.Or.Id

Makna 'Ibadah



Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Jangan Terlalu Sempit Memahami Ibadah
 

Sebagian orang bertanya dengan maksud meragukan penjelasan ayat di atas. 

 Apa benar kita diciptakan untuk beribadah saja? 

Lalu apa kita harus sholat terus sepanjang hidup kita? 

Atau bersujud terus melewati hari-hari kita?

Allah Ta’ala tidak mungkin salah dalam berfirman. 

Begitu juga dengan penjelasan para ulama tentang ayat di atas bukanlah suatu penjelasan yang keliru. 

Hal yang harus diluruskan adalah pandangan dan pemahaman kita dalam memaknai kata “ibadah”. 

Ibadah bukan hanya sholat, zakat, puasa dan haji semata.

Ibnu Taimiyah rahimahullahu mendefinisikan makna ibadah dengan definisi yang sangat bagus. 

Kata beliau, ibadah adalah segala perkara yang dicintai oleh Allah Ta’ala, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, yang nampak (dzahir) ataupun yang tidak nampak (bathin). (lihat Al ‘Ubudiyah, Ibnu Taimiyah)


Bekali diri dengan Ilmu
 

Bagaimana cara mengetahui bahwa perkara ini dicintai Allah Ta’ala atau tidak? 

Bagaimana membedakan bahwa perkara itu mendatangkan keridhaan-Nya atau justru mengundang murka-Nya? 

Inilah hikmah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas memerintahkan umatnya untuk belajar, mencari ilmu, mempelajari tentang agamanya.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut ilmu agama adalah perkara yang wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah, shahih).

Tujuan utamanya adalah agar seorang hamba bisa mengetahui mana perkara-perkara yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang kemudian bisa dia amalkan, dan dia bisa mengetahui mana perkara yang dimurkai oleh Allah yang kemudian dia bisa meninggalkannya. (Lihat Tsamaratul Ilmi Al Amal, Syaikh Abdurrozzaq Al Badr)


Kaidah dalam Mendefinisikan Ibadah
 

Hukum suatu perbuatan di dalam agama Islam ada lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. 

Secara asalnya, ibadah dalam agama islam hanya dengan dua bentuk pengamalan saja, yaitu :

1. Mengerjakan perkara yang wajib atau mengerjakan perkara yang sunnah, contohnya adalah seseorang mengerjakan sholat baik yang sholat wajib atau sunnah, berpuasa baik puasa yang wajib atau sunnah dll,
 

2. Meninggalkan perkara yang haram atau meninggalkan perkarayang makruh, contohnya adalah seseorang meninggalkan kesyirikan, menjauhi perbuatan zina, menjauhi minum khamr dll.

Adapun semata-mata perkara mubah pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagai ibadah. 

Perkara yang sifatnya mubah hukumnya relatif, mengikuti niat dan tujuan dari pelakunya.

1. Apabila dia niatkan untuk membantu mengerjakan perkara wajib/sunnah atau membantu meninggalkan perkara makruh/haram maka perkara mubah tersebut akan berpahala dan dinilai sebagai sebuah ibadah.
 

2. Apabila dia niatkan perkara mubah tersebut untuk membantu mengerjakan perkara haram atau membantu meninggalkan perkara wajib maka pelaku perkara mubah tersebut akan berhak mendapatkan dosa.
 

3. Apabila ketika mengerjakan perbuatan mubah seseorang tidak memiliki tujuan dan maksud apapun, melainkan hanya sebatas perbuatan mubah itu saja dan tidak ada tujuan dan maksud lainnya, maka pelaku perbuatan mubah tersebut tidak berhak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapat dosa. (Penjelasan Syaikh Abdul Aziz Ar Rays hafizhahullah dalam rekaman kajian Al Muqaddimaat Fii Dirasatit Tauhid)

Hal ini akan lebih jelas jika disertai dengan contoh, misalnya adalah perbuatan makan. 

Makan adalah perkara yang mubah. Seseorang tatkala makan, jika dia berniat mengamalkan perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan makanlah dan minumlah kalian” (QS. Al A’raaf : 31). 

Dan dia berniat agar badannya sehat dan kuat untuk bisa mengerjakan sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya, maka perbutan makannya tadi bernilai ibadah.

Sedangkan orang yang makan yang berniat untuk bisa memiliki badan yang kuat dan kemudian bisa mendzalimi (misal: memukuli) orang-orang di sekitarnya dengan kekuatannya, atau bisa kuat mencuri, atau bisa berzina maka perbuatan makannya tadi dihitung sebagai dosa.

Adapun orang yang makan berniat sebatas kebiasaan dan hanya untuk mengobati rasa laparnya semata, maka yang dia dapatkan adalah apa yang dia inginkan tersebut, yaitu rasa kenyang (tidak mendapatkan dosa dan tidak pula pahala). (Syarah Arba’in Nawawiyah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dengan sedikit penambahan)


Penting !!! Ibadah : Aktifitas yang Harus Benar Niat dan Tata Caranya
 

Ibadah adalah perpaduan benarnya amalan dzahir dan benarnya amalan bathin. 

Amalan dzahir yang benar adalah amalan yang sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan mencocoki tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Amalan bathin yang benar adalah ikhlas semata-mata ibadah tersebut untuk Allah Ta’ala dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala.

Perkara niat merupakan perkara yang teramat penting untuk dibahas. 

Inilah rahasia mengapa Islam sangat perhatian terhadap pembahasan niat, di atas pembahasan tentang perkara agama yang lainnya. 

Niat ada di dalam hati, tidak nampak secara dzahir, namun meskipun tidak nampak, niat sangat menentukan balasan yang akan diterima.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap amalan manusia tergantung dengan niatnya, dan setiap manusia (akan mendapatkan balasan dari Allah) sesuai dengan apa yang dia niatkan…” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ibadah itu luas, namun tetap perlu ditegaskan bahwa tata cara ibadah yang pokok yang bersifat ritual tidak boleh sembarangan, meskipun niatnya baik dan benar. 

Ternyata niat yang baik saja tidaklah cukup, harus disertai dengan amalan yang benar, yaitu sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, harus ada dalilnya dari Al Quran atau dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal (ibadah) dengan amalan yang tidak ada petunjuknya dari kami, maka amalan tersebut akan tertolak (tidak diterima sebagai ibadah)”(HR. Muslim)


Contoh ibadah pokok yang tidak boleh sembarangan : Berzikir
 

Ketika seseorang mau berpergian, ia terbiasa membaca surat Al Fatihah sebanyak 3 kali. 

Berzikir pada dasarnya adalah sesuatu yang disyari’atkan. Akan tetapi, menentukan bacaan tertentu seperti di atas, yakni membaca Al Fatihah 3 kali setiap akan berpergian, membutuhkan dalil khusus dan tidak boleh sembarangan. Tidak boleh pula beralasan “yang penting niatnya baik”. 

Karena ibadah pokok yang bersifat ritual harus sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan.


Contoh perbuatan bernilai ibadah : Naik kendaraan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri (pemerintah) kalian” (QS An Nisa : 59)

Salah satu perintah Allah Ta’ala dalam ayat di atas adalah perintah kepada para hamba-Nya untuk taat kepada peraturan pemerintah. 

Misal : Seorang pengendara motor mentaati segala bentuk peraturan lalu lintas (misalnya dengan mengenakan helm, membawa SIM lengkap dengan STNK-nya, dan mentaati rambu dan lampu lalu lintas dan lain-lain) dengan niat tulus mengamalkan firman Allah ta’ala tersebut, yaitu mentaati peraturan pemerintah, maka ini akan dinilai oleh Allah ta’ala sebagai amalan ibadah dan upaya pendekatan diri kepada Allah ta’ala.

Contoh lain : Bekerja Mencari Nafkah
 

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah : 233)

Salah satu perintah Islam kepada para suami adalah perintah bekerja mencari nafkah untuk istri dan anaknya. 

Seseorang suami yang bekerja membanting tulang dengan niat tulus ikhlas mengamalkan firman Allah ta’ala di atas, dengan maksud agar dirinya dan keluarganya bisa hidup dan bisa melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala, maka perbuatannya itu bernilai ibadah kepada Allah ta’ala dan Allah menjajikan pahala baginya.

Contoh lain : Menyingkirkan Gangguan di Jalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iman terdiri dari tujuh puluh sekian cabang, cabang tertinggi adalah perkataan Laa ilaha illallahu, dan cabang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”(HR. Muslim)


Salah satu perintah Islam kepada kaum muslimin adalah perintah untuk menyingkirkan gangguan dari jalan, boleh jadi berupa duri, atau kulit pisang, atau sampah atau gangguan lainnya. 

Seseorang yang menyingkirkan gangguan dari jalan dengan niat tulus ikhlas mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dengan maksud agar tidak ada kaum muslimin yang terganggu atau mengalami kecelakaan, maka perbuatannya tersebut bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala dan Allah menjanjikan pahala baginya.

Subhaanallah, terlalu banyak jika diuraikan jenis ibadah satu per satu di sini. 

Semoga Allah Ta’ala berkenan menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa memahami mana saja perkara ibadah yang Allah cintai, dan yang lebih penting lagi adalah agar kita bisa mengamalkannya di kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita bisa menjadikan seluruh hidup kita ini bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala.

Penulis : Hanif Nur Fauzi, S.T. // Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta
Muroja’ah : Ust. Aris Munandar, M.PI

Senin, 16 Maret 2015

Jangan durhaka kepada ibu


Allah Ta’ala telah menjelaskan pengorbanan ibu dalam Al-Quran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaaf : 15)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,
 “Mujahid berkata bahwa yang dimaksud [“وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ”] adalah kesulitan ketika mengandung anak. 
Qatadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. 
‘Atha’ Al Kharasani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.”

Semua manusia mengakui bagaimana pengorbanan ibu baik di kandungan maupun upaya membesarkan kita sampai kita menjadi orang yang berhasil. 

Berikut bait syair yang disusun oleh Imam Az-Dzahabi rahimahullah,

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.
(Akan dikatakan kepadanya),

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (Al-Hajj : 10)[2]

Kebaikan ibu yang tidak bisa terbalaskan

Diriwayatkan Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.

 Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

Orang itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” 

Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.” [Adabul Mufrad]

Semoga kita termasuk orang yang bisa berbakti kepada orang tua khusunya ibu. Semoga kita termasuk orang yang tidak melupakan jasa-jasa ibu kita. 

Semoga anak-istri dan pekerjaan kita tidak menyibukkan kita dan melalaikan kita untuk berbakti dan memberikan perhatian kepada ibu kita. Amin

Wahai ibu kami, doakan kami agar selalu bisa istiqamah dalam agama dan berbakti kepadamu. 

 Semoga kami dimudahkan urusan dunia kami dan dimudahkan menjalani berbagai cobaan dunia. 

Semoga kita berkumpul di surga tertinggi kelak.

Doakan kami karena doa engkau mustajab untuk kami.

Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ، لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ.

“Ada tiga do’a yang dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak diragukan tentang do’a ini: (1) do’a kedua orang tua terhadap anaknya, (2) do’a (3) do’a orang yang dizhalimin.”[4]

dikutip dari: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com