Siapakah di
antara kita yang mengenal Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, pembantu
setia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah seorang sahabat
dekat beliau?
Anas adalah
satu dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dialah sahabat terakhir yang wafat di Bashrah setelah
berumur lebih dari seratus tahun.
Ibarat
perguruan tinggi, Anas bin Malik telah banyak “meluluskan” ulama-ulama hebat
dalam sejarah. Sebut saja misalnya Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, Abu
Qilabah, Makhul, Umar bin Abdul Aziz, Tsabit Al-Bunani, Ibnu Syihab Az-Zuhri,
Qatadah As-Sadusi, dan lain-lain.
Sejak pertemuan
pertamanya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anas
langsung jadi orang terdekatnya. Ia tak sekadar jadi pembantu setia Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lebih dari itu, ia seakan menjadi “asisten pribadi”
beliau. Sebagai asisten pribadi, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkhususkan Anas dalam masalah-masalah tertentu yang tak diketahui
sahabat lainnya.
Anas adalah
sahabat yang beruntung berkat doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta
panjangkanlah usianya.” Berbekal do’a nabawi tadi, terkumpullah padanya
beberapa keistimewaan: usia yang panjang, anak yang banyak, harta yang
melimpah, dan ilmu yang luas.
Konon, usianya
mencapai 103 tahun. Anak keturunannya mencapai ratusan orang. Bahkan, menurut
penuturan salah seorang putrinya yang bernama Umainah, sejak ayahnya
berketurunan sampai setibanya Hajjaj bin Yusuf di Bashrah, sudah 129 orang dari
anak cucunya yang dimakamkan.
Tentang
kekayaannya, diriwayatkan bahwa Anas memiliki sebuah kebun yang menghasilkan
buah-buahan dua kali dalam setahun, padahal kebun lain hanya sekali. Di samping
itu, kebunnya juga menebarkan aroma kesturi yang semerbak.
Salah satu
murid terdekatnya, Tsabit Al-Bunani, menuturkan, “Ada seseorang yang hendak
menaksir tanah milik Anas. Maka orang itu bertanya, “Apakah tanah Tuan
mengalami kekeringan?” Namun tanpa banyak bicara, Anas segera melangkahkan
kakinya menuju sebuah tanah lapang. Ia kemudian shalat lalu mengangkat kedua
tangannya sembari berdoa kepada Allah. Maka seketika itu muncullah sebongkah
awan raksasa yang menyelimuti tanahnya. Sesaat kemudian hujan pun turun dengan
derasnya hingga oase Anas penuh dengan air, padahal saat itu adalah musim
kemarau. Anas kemudian mengutus sebagian keluarganya untuk mengecek sampai di
manakah daerah yang terkena hujan tadi. Ternyata hujan tadi hampir tak melebihi
tanah miliknya saja.”
Jelas, ini
merupakan karamah Allah bagi Anas, dan kisah ini benar adanya karena
diriwayatkan dari dua jalur yang berbeda dan keduanya shahih. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Adz-Dzahabi dalam Siyar-nya.
Di belakangnya ada Ummu Sulaim, Ibunya
Anak tidak
lahir dari belahan batu. Kecerdasannya tidak muncul begitu saja. Ada peran
besar dari Ummu Sulaim, ibunda Anas bin Malik, yang mewarnai kehidupan sang
tokoh. Dalam Siyar-nya, Adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas.
Katanya, “Suatu
ketika Nabi berkunjung ke rumah Ummu Sulaim. Begitu ibuku tahu akan kunjungan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia segera menyuguhkan kepadanya kurma
dan minyak samin. ‘Kembalikan saja kurma dan minyak saminmu ke tempatnya
semula, karena aku sedang berpuasa,’ kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada ibuku. Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangkit menuju salah satu sisi rumahku, kemudian shalat sunnah dua rakaat dan
mendoakan kebaikan bagi Ummu Sulaim dan keluarganya.
Maka, ibu
berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki hadiah khusus bagimu.’
‘Apa itu?’ tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Orang yang siap
membantumu, Anas,’ jawab ibu.
Seketika itulah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan doa-doa untukku,
hingga tak tersisa satu pun dari kebaikan dunia dan akhirat melainkan beliau
doakan bagiku. ‘Ya Allah, karuniailah ia harta dan anak keturunan, serta
berkahilah keduanya baginya,’ kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam doanya. Berkat doa inilah, aku menjadi orang Anshar yang
paling banyak hartanya,” kata Anas mengakhiri kisahnya.
Dalam riwayat
lainnya, Anas bin Malik menceritakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tiba di Madinah aku baru berumur delapan tahun. Waktu itu, ibu
menuntunku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata, ‘Wahai Rasulullah, tak tersisa seorang Anshar pun kecuali datang kepadamu
dengan hadiah istimewa. Namun, aku tak mampu memberimu hadiah kecuali putraku
ini, maka ambillah dia dan suruhlah dia membantumu kapan saja Anda inginkan.’”
Dikisahkan pula
bahwa ketika itu, Ummu Sulaim menyarungi Anas dengan setengah jilbabnya, dan
menyelendanginya dengan sebagian gaunnya, kemudian menghadiahkannya kepada
Rasulullah.
Allahu Akbar !! Alangkah
besar kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hingga rela menghadiahkan buah hatinya yang baru berumur delapan tahun. Sungguh,
sikapnya merupakan pelajaran berharga bagi setiap orang yang mendakwahkan
“cinta Rasul”, namun enggan berkorban untuknya. Semoga Allah meridhaimu, wahai
Ummu Sulaim.
Mengenal Ummu
Sulaim
Ibnu Abdil Barr
mengatakan bahwa para sejarawan berbeda pendapat mengenai nama Ummu Sulaim yang
sebenarnya, apakah namanya Sahlah, Rumailah, Rumaitsah, Unaifah, ataukah
Mulaikah? Akan tetapi, yang jelas julukannya ialah Rumaisha atau Ghumaisha’.
Ia termasuk
salah satu wanita penghuni jannah, sebagaimana yang tersirat dalam
hadits berikut,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُنِيْ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ
فَإِذَا أَنَا بِالرُّمَيْصَاءِ امْرَأَةِ أَبِيْ طَلْحَةَ
Dari Jabir,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku masuk
jannah, tiba-tiba aku melihat di sana ada Rumaisha’, istri Abu Thalhah.” (HR.
Al-Bukhari).
وَعَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْفَةً فَقُلْتُ مَنْ هَذَا
قَالُوْا هَذِهِ الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ مِلْحَانِ أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
Dalam hadits
Anas dikatakan, bahwa ketika masuk jannah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar
suara terompah seseorang. “Suara siapa ini?” tanya beliau. Kata para malaikat,
“Itu suara Ghumaisha’ binti Milhan, ibunda Anas bin Malik.” (HR. Muslim).
Ummu Sulaim
termasuk wanita yang cemerlang akalnya. Selain cerdas, ia juga penyabar dan
pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang menurun kepada Anas dan mewarnai
perangainya di kemudian hari. Ya, kecerdasan biasanya melahirkan kecerdasan,
kesabaran melahirkan kesabaran, dan keberanian melahirkan keberanian.
Sebelum menikah
dengan Abu Thalhah, suaminya ialah Malik bin Nadhar, ayah Anas. Ketika dakwah
Islam terdengar oleh Ummu Sulaim, segeralah ia dan kaumnya menyatakan
keislamannya. Ummu Sulaim kemudian menawarkan Islam kepada suaminya yang ketika
itu masih musyrik. Namun di luar dugaan, Malik justru marah kepadanya dan
meninggalkannya. Malik akhirnya pergi ke negeri Syam dan meninggal di sana.
Kecerdasan Ummu Sulaim
Setelah suami
pertamanya mangkat, Ummu Sulaim menikah dengan Abu Thalhah. Ketika meminangnya,
Abu Thalhah masih dalam keadaan musyrik. Sehingga Ummu Sulaim menolak
pinangannya tersebut sampai Abu Thalhah mau masuk Islam. Anas mengisahkan
cerita ini dari ibunya.
“Sungguh tidak
pantas seorang musyrik menikahiku. Tidakkah engkau tahu, wahai Abu Thalhah,
bahwa berhala-berhala sesembahanmu itu dipahat oleh budak dari suku anu,”
sindir Ummu Sulaim. “Jika kau sulut dengan api pun, ia akan terbakar,”
lanjutnya lagi.
Maka Abu
Thalhah berpaling ke rumahnya. Akan tetapi, kata-kata Ummu Sulaim tadi amat
membekas di hatinya. “Benar juga,” gumamnya. Tak lama kemudian, Abu Thalhah
menyatakan keislamannya. “Aku telah menerima agama yang kau tawarkan,” kata Abu
Thalhah kepada Ummu Sulaim. Maka berlangsunglah pernikahan mereka berdua. “Dan
Ummu Sulaim tak meminta mahar apa pun selain keislaman Abu Thalhah,” kata Anas.
Ketabahan Ummu Sulaim
Dari
pernikahannya dengan Ummu Sulaim, Abu Thalhah dikaruniai dua orang anak. Satu
di antaranya amat ia kagumi, namanya Abu ‘Umair. Namun sayang, Abu ‘Umair tak
berumur panjang. Ia dipanggil oleh Allah ketika masih kanak-kanak.
Anas bercerita,
“Suatu ketika, Abu ‘Umair sakit parah. Tatkala adzan isya berkumandang, seperti
biasanya Abu Thalhah berangkat ke mesjid. Dalam perjalanan ke mesjid, anaknya
(Abu ‘Umair) dipanggil oleh Allah.
Dengan cepat
Ummu Sulaim mendandani jenazah anaknya, kemudian membaringkannya di tempat
tidur. Ia berpesan kepada Anas agar tidak memberi tahu Abu Thalhah tentang
kematian anak kesayangannya itu. Kemudian, ia pun menyiapkan hidangan makan
malam untuk suaminya.
Sepulangnya
dari mesjid, seperti biasa Abu Thalhah menyantap makan malamnya kemudian
menggauli istrinya. Di akhir malam, Ummu Sulaim berkata kepada suaminya,
“Bagaimana menurutmu tentang keluarga si fulan, mereka meminjam sesuatu dari
orang lain, tetapi ketika diminta, mereka tidak mau mengembalikannya, merasa
keberatan atas penarikan pinjaman itu.”
“Mereka telah
berlaku tidak adil,” kata Abu Thalhah.
“Ketahuilah,
sesungguhnya putramu adalah pinjaman dari Allah, dan kini Allah telah
mengambilnya kembali,” kata Ummu Sulaim lirih.
“Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un…. Segala puji bagi-Mu, ya Allah,” ucap Abu
Thalhah dengan pasrah.
Keturunan yang diberkati
Selepas
mengantarkan kepergian buah hatinya, keesokan harinya Abu Thalhah menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala bertatap muka
dengannya, beliau mengatakan, “Semoga Allah memberkati kalian berdua nanti
malam.” Maka, malam itu juga Ummu Sulaim hamil lagi, mengandung Abdullah
bin Abu Thalhah.
Setelah
melahirkan bayinya, Ummu Sulaim menyuruh Anas menghadap Rasulullah dengan
menggendong bayi mungil itu sambil membawa beberapa butir kurma ‘ajwah. Kata
Anas, “Sesampaiku di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kudapati beliau sedang memberi cap pada untanya.”
“Wahai
Rasulullah, semalam Ummu Sulaim melahirkan anaknya,” kataku. Maka beliau
memungut kurma yang kubawa lalu mengunyahnya dengan air liur beliau, kemudian
menyuapkan kepada si bayi. Bayi mungil itu mengulum kurma tadi dengan ujung
lidahnya. Maka Rasulullah tersenyum sembari berkata, “Memang, makanan kesukaan
orang Anshar adalah kurma.”
“Namailah dia,
wahai Rasulullah,” pintaku kepadanya.
“Namanya
Abdullah,” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Doa Rasulullah
kepada Abu Thalhah ternyata tak sekadar menjadikannya punya anak. Akan tetapi,
anak itu (Abdullah) kemudian tumbuh menjadi anak shalih yang dikaruniai tujuh
orang keturunan yang shalih-shalih pula. Menurut penuturan salah seorang perawi
yang bernama ‘Abayah, ketujuh anak Abdullah bin Abi Thalhah tadi telah khatam Al-Quran
sewaktu masih kecil.
Keberanian Ummu Sulaim
Sosok wanita
seperti Ummu Sulaim sulit dicari tandingannya. Selain cerdas dan penyabar, ia
juga seorang pemberani. Anas menceritakan, bahwa suatu ketika Abu Thalhah
berpapasan dengan Ummu Sulaim ketika perang Hunain. Ia melihat bahwa di
tangannya ada sebilah pisau, maka Abu Thalhah segera melaporkan kepada
Rasulullah perihal Ummu Sulaim, “Wahai Rasulullah, lihatlah Ummu Sulaim keluar
rumah sambil membawa pisau,” kata Abu Thalhah.
“Wahai
Rasulullah, pisau ini sengaja kusiapkan untuk merobek perut orang musyrik yang
berani mendekatiku,” jawab Ummu Sulaim.
Menurut
Adz-Dzahabi, Ummu Sulaim juga ikut terjun dalam perang Uhud bersama Rasulullah.
Ketika itu ia juga kedapatan membawa sebilah pisau.
Kecintaan Ummu Sulaim terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Sebagaimana
telah disebutkan di awal, Ummu Sulaim menghadiahkan putranya yang bernama Anas
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ia baru berumur
delapan atau sepuluh tahun. Ini jelas didorong kecintaannya yang besar kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di lain
kesempatan, suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur
siang di rumah Ummu Sulaim. Karena Ummu Sulaim adalah wanita yang bersahaja,
maka ia hanya punya tikar kulit sebagai alas tidur Rasulullah. Karena hawa yang
panas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeringat hingga
membasahi tikar itu, lalu beliau bangun. Melihat tikar yang penuh keringat
tadi, segera Ummu Sulaim mengambil sebuah botol lalu dengan susah payah ia
memeras tikarnya dan menampung keringat nabawi itu dalam botolnya.
Melihat
ulahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya keheranan,
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Aku sedang
mengambil berkah yang keluar dari tubuhmu,” jawab Ummu Sulaim.
Diriwayatkan
bahwa Ummu Sulaim kemudian mencampurkan keringat Nabi tersebut dalam
wewangiannya.
Anas mengatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah masuk ke rumah
wanita lain selain Ummu Sulaim. Ketika ditanya, beliau mengatakan bahwa dirinya
kasihan kepada Ummu Sulaim, karena saudara kandungnya terbunuh dalam satu
peperangan bersama beliau.
Adz-Dzahabi
menyebutkan bahwa saudara kandungnya itu bernama Haram bin Milhan yang mati
syahid dalam tragedi Bi’r Ma’unah. Dialah yang mengatakan, “Demi Allah, aku
beruntung!” Ketika ditikam tombak dari belakang hingga tembus ke dadanya.
Suatu ketika,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah Ummu Sulaim. Di
sana beliau melihat ada geriba air yang tergantung di dinding, lalu beliau
meminumnya sambil berdiri. Maka segeralah Ummu Sulaim mengambil geriba itu dan
memotong mulut geriba yang bersentuhan dengan mulut Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian menyimpannya.
Lihatlah
bagaimana kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
hingga tak menyiakan apa pun yang berhubungan dengan tubuhnya yang mulia itu.
Demikian pula
yang terjadi pada putranya, Anas. Pernah suatu ketika, Anas mengatakan, “Tak
pernah semalam pun kulewatkan, melainkan aku mimpi berjumpa dengan kekasihku
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Kemudian, berderailah air
matanya.
Diriwayatkan
pula bahwa Anas mengenakan cincin yang terukir padanya, ‘Muhammadun
Rasulullah’. Maka setiap kali hendak buang hajat, dilepasnya cincin tersebut.
Warisan Ilmiah Ummu Sulaim
Menurut
adz-Dzahabi, Ummu Sulaim meriwayatkan empat belas hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Satu di antaranya muttafaq ‘alaih, satu hadits
khusus diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan dua hadits oleh Muslim.
Ummu Sulaim
wafat pada masa kekhalifan Utsman bin Affan. Semoga Allah meridhainya dan
menempatkannya dalam Firdaus yang tertinggi, beserta para Nabi, shiddiqin,
syuhada, dan shalihin.
Sumber: Ibunda
Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertam,a Ramadhan
1427 H/ Oktober 2006.
Artikel www.KisahMuslim.com dengan penataan
bahasa oleh tim redaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar