Minggu, 24 Mei 2015

Keutamaan Pasangan Suami-Istri Yang Selalu Tolong-menolong Dalam Kebaikan




     عَن أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  : « رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ ، رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا ، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ » رواه أبو داود وغيره
    
Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda: “Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun di malam, hari lalu dia melaksanakan shalat (malam), kemudian dia membangunkan istrinya, kalau istrinya enggan maka dia akan memercikkan air pada wajahnya (supaya terbangun). 

Dan semoga Allah merahmati seorang perempuan yang bangun di malam hari, lalu dia melaksanakan shalat (malam), kemudian dia membangunkan suaminya, kalau suaminya enggan maka dia akan memercikkan air pada wajahnya (supaya terbangun)”[1].

Hadits yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan pasangan suami istri yang selalu saling memotivasi dan mnasehati dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah , dalam rangka mengamalkan firman Allah :

{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS al-Maaidah: 2)[2].

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:

– Sebaik-baik pemberian dan usaha kebaikan untuk orang-orang yang kita cintai dan keluarga kita adalah ajakan dan nasehat untuk taat kepada Allah, karena inilah yang bernilai kekal dan menyelamatkan dari kebinasaan abadi di akhirat nanti. Allah  berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib  ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[3].

– Tolong menolong dan saling menasehati dalam kebaikan adalah sebab untuk mendapatkan rahmat dan keberkahan dari Allah  di dunia dan akhirat.

– Sebagaimana ini juga merupakan sebab kekalnya jalinan cinta dan kasih sayang dengan orang-orang yang kita cintai, karena pada hari kiamat nanti, semua bentuk jalinan cinta, kedekatan dan persahabatan akan berubah menjadi permusuhan, kecuali orang-orang yang menjalinnya di atas takwa dan saling menasehati dalam kebaikan. 

Allah  berfirman:

{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}
“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-Zukhruf:67).

Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah, maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya[4].

– Nasehat dan ajakan untuk berbuat baik dilakukan dengan cara yang lemah lembut [5] dan tidak dengan cara yang keras, kecuali dalam kondisi tertentu dan dengan pertimbangan untuk mendatangkan kebaikan yang lebih besar.

– Hadits ini menunjukkan bahwa memaksa seseorang untuk berbuat kebaikan diperbolehkan bahkan dianjurkan, jika tidak menimbulkan keburukan yang lebih besar[6].

– Imam ath-Thiibi ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata: “Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan maka semestinya dia menginginkan (kebaikan) untuk orang lain sebagaimana dia menginginkannya untuk dirinya sendiri, dengan memulai (mengusahakan kebaikan tersebut) dari orang-orang yang paling terdekat (dengannya)”[7].

 وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 28 Rabi’ul awal 1435 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] HR Abu Dawud (no. 1308), an-Nasa-i (3/205), Ahmad (2/250), Ibnu Khuzaimah (2/183), Ibnu Hibban (6/306) dan al-Hakim (1/453), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim dan syaikh al-Albani.

[2] Lihat kitab “’Aunul Ma’bud” (4/228).

[3] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[4] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/170).

[5] Lihat kitab “’Aunul Ma’bud” (4/228).

[6] Lihat kitab “’Aunul Ma’bud” (4/228).

[7] Dinukil oleh Imam al-Munawi dalam kitab “Faidhul Qadiir” (4/25).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar