Minggu, 31 Mei 2015

:: MUTIARA NASEHAT ::



    Ibnu Qudamah -rohimahulloh- mengatakan:

    "Manfaatkanlah kehidupanmu yang berharga, 

    dan jagalah waktumu yang bernilai tinggi -semoga Allah merahmatimu-.

    Ingatlah bahwa masa hidupmu itu terbatas, dan nafasmu itu terhitung, 

    dan setiap nafas (yang keluar) itu mengurangi bagian dari dirimu.

    Umur ini semuanya pendek, dan sisa dari umur itu tinggal sedikit, 

    dan setiap bagian dari umur itu adalah mutiara berharga yang tiada bandingannya dan tiada gantinya, 

    karena dengan kehidupan yang sedikit ini akan (didapatkan) keabadian yg tiada akhir; 

    dalam kenikmatan atau dalam azab yg pedih.

    Dan jika kau bandingkan kehidupan ini dengan keabadian yg tiada akhir itu, 

    kamu akan tahu bahwa setiap nafas itu sebanding dengan lebih dari SEMILYAR tahun; 

    dalam kenikmatan yang tak terbayangkan atau sebaliknya...

    Maka, janganlah kamu sia-siakan umurmu -yang merupakan mutiara berharga itu- 

    dengan tanpa amal, dan jangan sampai dia pergi tanpa ganti.

    Bersungguh-sungguhlah agar setiap nafasmu tidak kosong dari amal ketaatan 

    atau amal ibadah yang mendekatkanmu (kepada-Nya).

    Karena seandainya kamu memiliki suatu perhiasan dunia saja; 

    kamu akan merugi bila dia hilang, 

    lalu bagaimana meruginya bila kamu menyia-nyiakan waktu-waktumu, 

    dan bagaimana kamu tidak sedih karena umurmu hilang tanpa ada ganti?!".

    [Kitab: Ghidza'ul Albab 2/351].

    -----------
     

    Subhanallah... ternyata setiap nafas Anda itu sangat berharga sekali... 

    Sudahkah Anda menghargainya sesuai dengan nilainya? 

    Jawablah untuk diri Anda sendiri.

    ✏ Ditulis oleh Ustadz Musyafa Ad Dariny, MA. (copas).

    Semoga Bermanfaat.
    ***

Jumat, 29 Mei 2015

Untung atau Buntung?



 
Setiap hamba yang tinggal di dunia harus siap untuk menghadapi ujian dan cobaan. 

Sebab itu sudah merupakan sunnatullah yang tidak mungkin bisa dihindari. 

Dalam hal ini, tidak ada bedanya antara orang yang beriman dengan yang tidak, 

antara orang Islam maupun orang kafir. 

Semuanya berpotensi untuk ditimpa ujian. 

Allah ta’ala berfirman,

“وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ“

Artinya: “Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa serta buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”. QS. Al-Baqarah (2): 155.

Jika memang demikian, lantas apa yang membedakan antara orang yang beriman dengan yang tidak beriman saat ditimpa musibah? 

Bedanya: orang yang beriman untung

sedangkan yang tidak beriman akan buntung!


Keuntungan orang yang beriman

Orang yang beriman, walaupun ditimpa musibah, ia akan beruntung di dunia maupun akhirat.

Di dunia, dia akan bersegera untuk introspeksi dan memperbaiki diri, sebab ia sadar betul bahwa musibah itu adalah akibat dari dosa-dosa yang dikerjakannya.

“ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ“

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)”. QS. Ar-Rum (30): 41.

Dia juga akan tetap menghadapi musibah tersebut dengan hati yang tenang, 

karena dia yakin betul bahwa hal itu merupakan bagian dari takdir Allah. 

Dan takdir Allah pasti adalah yang terbaik untuknya. 

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

“إِنَّ اللهَ لَا يَقْضِي لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ “

“Sungguh Allah tidaklah menakdirkan sesuatu bagi seorang mukmin; melainkan pasti itulah yang terbaik untuknya”. HR. Ahmad dari Anas radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh al-Arna’uth.

Adapun keuntungan di akhirat adalah pahala tak terbatas yang dijanjikan untuknya.

“إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ“

Artinya: “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. QS. Az-Zumar (39): 10.


‘Kebuntungan’ orang yang tidak beriman

Sudah jatuh, masih tertimpa tangga pula.
Kira-kira begitulah perumpamaan orang-orang yang tidak beriman saat ditimpa musibah.

Sudah merasa sakit karena tertimpa musibah, masih juga mereka ‘buntung’ alias rugi di dunia dan akhirat.

Di dunia, mereka tidak bisa menerima musibah tersebut dengan hati yang lapang.

 Sehingga ia selalu hidup dalam kegundahgulanaan. 

Perilakunya tetap saja buruk pasca musibah. 

Bahkan malah ia senantiasa menjadikan orang lain sebagai kambing hitam.

Sedangkan di akhirat, mereka terancam siksa Allah yang pedih karena tidak terima dengan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala.

Semoga Allah senantiasa menjadikan kita semua orang-orang yang beruntung bukan yang buntung!

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA

Kamis, 28 Mei 2015

Untukmu yang Sedang Menanti


Bila Harus memilih

Alloh `Azza Wa Jalla berfirman :

{… فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ}

“… maka wanita yang shaleh ialah yang ta’at (kepada Allah Ta’ala dan kepada suaminya) lagi memelihara diri ketika suaminya sedang tidak ada, memelihara penjagaan Allah terhadap mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah   memberikan sebuah rincian tentang kriteria wanita shaleh, yang layak untuk dijadikan pasangan hidup,

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا قَالَ : وَتَلاَ هَذِهِ الآيَةَ {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} إِلَى آخِرِ الآيَةِ. رواه ابن جرير وأبو داود الطيالسي والحاكم

“Sebaik-baik wanita ialah 

wanita yang bila engkau memandang kepadanya, ia akan membuatmu senang, 

dan bila engkau memerintahnya niscaya ia mentaatimu, 

dan bila engkau meninggalkannya, ia menjaga kehormatanmu dalam hal yang berikaitan dengan dirinya dan hartamu. 

Dan kemudian Rasulullah   membaca ayat berikut: (Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…) hingga akhir ayat.” (HR.Ibnu jarir, Abu Dawud At-Thoyalisy dan Al-Hakim)

Demikian juga halnya dengan kriteria pasangan pria. Rasulullah telah mengarahkan agar standar pilihannya ialah kesholehan dan akhlaq yang mulia.

((إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ))

“Bila telah datang (untuk melamar) kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan perangainya (akhlaqnya), maka nikahkanlah dia, bila kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang merajalela.” (HR. At-Tirmidzy, Sa’id bin Mansur, At-Thabrany, Al-Baihaqy dan dihasankan oleh Al-Albany).

Bila islam mengajarkan agar senantiasa memilih pasangan hidup yang sholeh dan shalihah, maka sebaliknya Islam juga memperingatkan umatnya agar tidak memilih pasangan hidup yang tidak baik. 

Karena pada hakikatnya, pilihan seseorang adalah standar jati diri seseorang, Allah `Azza Wa Jalla berfirman:

{الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ}

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula) 

dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik( pula).” (QS. An-Nur: 26)
 
Dan ayat ini sangat terkait erat dengan dengan ayat ke-3 dari surat yang sama, yaitu :

{الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِين}

“Lelaki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, 

dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lelaki yang berzina atau lelaki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 3)

Maka telah jelas bagi kita, bahwa lelaki yang tidak baik adalah pasangannya wanita yang tidak baik pula, 

dan sebaliknya wanita yang tidak baik adalah pasangannya orang yang tidak baik pula. 

Dan haram hukumnya bagi lelaki baik atau wanita baik untuk menikahi wanita atau lelaki yang tidak baik.


Sebagian ulama’ menyebutkan bahwa barang siapa yang menikahi wanita pezina yang belum bertaubat, maka ia telah meridhai perbuatan zina, dan orang yang meridhai perbuatan zina seakan ia telah berzina. 

Dan bila seorang lelaki rela bila istrinya berzina dengan lelaki lain, maka akan lebih ringan baginya untuk berbuat zina. 

Bila ia tidak cemburu bila mengetahui istrinya berzina, maka akankah ada rasa sungkan di hatinya untuk berbuat serupa?! 

Dan wanita yang rela bila suaminya adalah pezina yang belum bertaubat, maka berarti ia juga rela dengan perbuatan tersebut, dan barang siapa yang rela dengan perbuatan zina, maka ia seakan-akan telah berzina. 

Dan bila seorang wanita rela bila suaminya merasa tidak puas dengan dirinya, maka ini pertanda bahwa iapun melakukan hal yang sama.

Sebuah sunnatullah, bahwa balasan suatu amalan adalah amalan yang serupa.

عفوا تعف نساؤكم وأبناؤكم, وبروا أباءكم يبركم أبناؤكم

Jagalah dirimu niscaya istri dan anakmu akan menjaga dirinya 

dan berbaktilah kepada orang tuamu, niscaya anakmu akan berbakti kepadamu.” (Majmu’ Fatawa : 15/315-323).


Dan dalam pepatah arab disebutkan:

الزنا دين قضاؤه في أهلك

“Perbuatan zina adalah suatu piutang, dan tebusannya ada pada keluargamu.”

Rabu, 27 Mei 2015

SEPUCUK SURAT UNTUK SAHABAT


Seorang sahabat pernah mengirimkan sebuah pesan yang penuh makna. 

Isi pesan itu adalah:

"Sahabat, dengarkanlah sejenak..

Diriwayatkan, bahwa: Apabila penghuni Surga telah masuk ke dalam Surga, 

lalu mereka tidak menemukan sahabat-sahabat mereka yang selalu bersama mereka dahulu di dunia, 

mereka bertanya tentang sahabat mereka itu kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala ..

 "Yaa Rabb.. Kami tidak melihat sahabat-sahabat kami yang sewaktu di Dunia, 

Shalat bersama kami, Puasa bersama kami dan berjuang bersama kami,"


Maka Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

"Pergilah ke neraka, lalu keluarkan sahabatmu yang di hatinya ada Iman walaupun hanya sebesar dzarrah." (HR. Ibnul Mubarak dalam kitab "Az-Zuhd")

Al-Hasan Al-Bashri berkata, "Perbanyaklah Sahabat-sahabat Mu'min-mu, karena Mereka memiliki Syafa'at pada hari kiamat."

Ibnul Jauzi pernah berpesan kepada Sahabat-sahabatnya sambil menangis,

"Jika kalian tidak menemukan aku nanti di surga bersama kalian, 

maka bertanyalah kepada Allah ta'ala tentang aku, "Wahai Rabb Kami.. 

Hamba-Mu fulan, sewaktu di dunia selalu mengingatkan kami tentang ENGKAU. 

Maka masukkanlah dia bersama kami di Surga-Mu."


Sahabatku.. Mudah-mudahan dengan ini, aku telah Mengingatkanmu Tentang Allah ta'ala 

..Agar aku dapat besamamu kelak di Surga & meraih Ridha-Nya..

Aku memohon kepada-Mu.. 

Karuniakanlah kepadaku Sahabat-Sahabat yang selalu mengajakku 

untuk Tunduk, patuh & Taat kepada Syariat-Mu..

Kekalkanlah persahabatan kami hingga kami bertemu di akhirat nanti dengan-Mu..

Amiin...

(Cuplikan kajian Ustadz Badru Salam Lc, -hafidzahullah-)

Qultu:
 

Terima kasih sahabat....
 

Semoga Allah mengumpulkan kita didalam Firdaus-Nya....

Oleh: Ustadz Aan Chandra Thalib

Ayo diSHARE dan TAG kepada sahabat-sahabat Anda! 

Semoga bermanfaat untuk mereka juga. ^^

Selasa, 26 Mei 2015

10 Kiat Menjadi Suami Yang Baik


Islam memberikan banyak kiat untuk menjadi suami yang baik.

Bagaimanakah cara untuk menjadi suami yang baik? 

Berikut ini kami sampaikan 10 kiat, yaitu;

1. Mempergauli istri dengan cara yang ma’ruf (baik)
 
Allah berfirman, artinya, “Dan bergaullah dengan mereka(para istri) dengan baik.” (QS. an-Nisa’: 19).


Ibnu Katsir berkata, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. 


Berbuat baiklah sebagaimana kalian suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir).

2. Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal yang baik
 
Allah berfirman, artinya, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf.” (QS. al-Baqarah: 233).


Dalam firman-Nya yang lain, artinya, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.

Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. 

Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. ath-Thalaq: 7).

Rasulullah shallallohu ‘laihi wasallam bersabda, ketika haji wada’,


فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ إلي أن قال وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. 

(sampai perkataan beliau) Kewajiban kalian kepada istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim no. 1218).

Ibnu Katsir berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban memberi nafkah pada ibu si anak, 
termasuk pula dalam hal pakaian dengan cara yang ma’ruf (baik).

Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakat tanpa berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. 

Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir).

3. Mengajari istri ilmu agama
 

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Qs. at-Tahrim: 6).

‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah mengatakan, “Ajarilah adab dan agama kepada mereka.”
 
Ibnu ‘Abbas berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah dan hati-hatilah dengan maksiat. 


Perintahkanlah keluargamu untuk mengingat Allah (berdzikir), niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari jilatan neraka.”

Mujahid berkata,“Bertakwalah kepada Allah dan nasihatilah keluargamu untuk bertakwa kepada-Nya.”

Adh-Dhahak dan Maqatil berkata,“Kewajiban bagi seorang muslim adalah mengajari keluarganya, termasuk kerabat, budak laki-laki atau perempuannya perkara wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir).

Mungkin Anda bertanya, “Bagaimana jika kita tidak bisa mendidik istri, karena kita sendiri kurang dalam hal agama?”

Jawab, hendaklah Anda memperbaiki diri. 


Berusaha untuk mempelajari Islam lebih dalam sehingga Anda bisa memperingatkan dan mendidik istri. 

Jika tidak bisa, hendaklah mengajaknya datang ke majelis ilmu sebagaimana Anda pun demikian. 

Atau, cara lain yang dapat meningkatkan keberagamaan Anda dan istri lebih baik dari sebelumnya.

4. Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta
 

Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sebagaimana yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah, Ia pernah bersama Nabi dalam safar(bepergian). 

‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau. ‘Aisyah berkata,

فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ

Akupun mengalahkan beliau. Tatkala aku sudah bertambah gemuk, aku berlomba lari lagi bersama Rasul, namun kala itu beliau mengalahkanku. 

Lantas beliau bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578).

5. Mengajak istri dan anak untuk rajin beribadah
 
Allah berfirman, artinya, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” ( QS. Thaha : 132).
 

Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Dan pukullah mereka jika telah berumur 10 tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495).

Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya…” (HR. Abu Daud, no. 1450).

6. Melihat sisi positif istri Anda
 

Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika sang suami tidak menyukai suatu akhlak pada sang istri, maka hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridhai.” (HR. Muslim, no. 1469).

7. Jangan memukul wajah istri dan jangan pula menjelek-jelekkannya
 
Mu’awiyah al Qusyairi, pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah bersabda,


أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ -أَوِ اكْتَسَبْتَ- وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. 

Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, 

dan jangan engkau memukul wajah, 

dan jangan pula menjelek-jelekkannya 

serta jangan pula mendiamkannya(dalam rangka nasihat) selain di rumah.” (HR. Abu Daud, no. 2142).

8. Jangan meng-hajr (pisah ranjang dalam rangka mendidik) selain di dalam rumah
 

Allah berfirman, artinya, “Dan hajr-lah (pisahkanlah mereka) di tempat tidur mereka.”(Qs. an-Nisa: 34).
 

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di mengatakan bahwa maknanya adalah tidak satu ranjang dengannya dan tidak berhubungan intim dengan istri sampai ia sadar dari kesalahannya (Taisir al-Karimir Rahman, ibn Sa’di).

9. Membenahi Kesalahan Istri dengan Baik

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خيرا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

“Dan berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan, 

karena sesungguhnya dia diciptakan dari tulang rusuk, 

dan bagian yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas, 

jika kamu berusaha untuk meluruskannya, niscaya akan patah, 

jika kamu membiarkannya, niscaya tetap bengkok, 

maka berwasiatlah terhadap wanita dengan kebaikan.” (HR. Muslim, no.3720).

10. Memberikan nafkah batin
 

Inilah salah satu pelajaran dari hadits Abu Darda’ berikut ini.
 

Nabi mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’.

Ketika itu Salman melihat Ummu Darda’, dalam keadaan tidak gembira. 

Salman pun berkata kepada Ummu Darda’, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” “

Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan ia tidak lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. 

Ketika Abu Darda` tiba, dia membuatkan makanan untuk Salman lalu berkata, “Makanlah karena aku sedang berpuasa.” 

Salman menjawab, “Saya tidak akan makan hingga kamu ikut makan.” Akhirnya Abu Darda’ pun makan.

Ketika tiba waktu malam, Abu Darda’ beranjak untuk melaksanakan shalat namun Salman berkata kepadanya, ‘Tidurlah.’ 

Abu Darda` pun tidur, tidak berapa lama kemudian dia beranjak untuk mengerjakan shalat, namun Salman tetap berkata, ‘Tidurlah.’ Akhirnya dia tidur. 

Ketika di akhir malam, Salman berkata kepadanya, ‘Sekarang bangunlah,’ 

Abu Juhaifah berkata, ‘Keduanya pun bangun dan melaksanakan shalat, setelah itu Salman berkata, ‘Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak, dan badanmu memiliki hak, istrimu memiliki hak atas dirimu, maka berikanlah hak setiap yang memiliki hak.’” 

Selang beberapa saat Nabi datang, lalu hal itu diberitahukan kepada beliau, Nabi bersabda, “Salman benar.” (HR. al-Bukhari, no. 968).

Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang suami wajib menyetubuhi istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan kecukupan istri.

Akhirnya, semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mengamalkan segala hal yang dicintai dan diridhai-Nya. Amien. Allahu a’lam.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, segenap keluarga dan para sahabatnya. (Redaksi : Abdullah Hadrami )

[Sumber: Disarikan dari berbagai sumber dengan sedikit gubahan/ alsofwah]

Minggu, 24 Mei 2015

Keutamaan Pasangan Suami-Istri Yang Selalu Tolong-menolong Dalam Kebaikan




     عَن أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  : « رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ ، رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا ، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ » رواه أبو داود وغيره
    
Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda: “Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun di malam, hari lalu dia melaksanakan shalat (malam), kemudian dia membangunkan istrinya, kalau istrinya enggan maka dia akan memercikkan air pada wajahnya (supaya terbangun). 

Dan semoga Allah merahmati seorang perempuan yang bangun di malam hari, lalu dia melaksanakan shalat (malam), kemudian dia membangunkan suaminya, kalau suaminya enggan maka dia akan memercikkan air pada wajahnya (supaya terbangun)”[1].

Hadits yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan pasangan suami istri yang selalu saling memotivasi dan mnasehati dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah , dalam rangka mengamalkan firman Allah :

{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS al-Maaidah: 2)[2].

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:

– Sebaik-baik pemberian dan usaha kebaikan untuk orang-orang yang kita cintai dan keluarga kita adalah ajakan dan nasehat untuk taat kepada Allah, karena inilah yang bernilai kekal dan menyelamatkan dari kebinasaan abadi di akhirat nanti. Allah  berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib  ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[3].

– Tolong menolong dan saling menasehati dalam kebaikan adalah sebab untuk mendapatkan rahmat dan keberkahan dari Allah  di dunia dan akhirat.

– Sebagaimana ini juga merupakan sebab kekalnya jalinan cinta dan kasih sayang dengan orang-orang yang kita cintai, karena pada hari kiamat nanti, semua bentuk jalinan cinta, kedekatan dan persahabatan akan berubah menjadi permusuhan, kecuali orang-orang yang menjalinnya di atas takwa dan saling menasehati dalam kebaikan. 

Allah  berfirman:

{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}
“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-Zukhruf:67).

Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah, maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya[4].

– Nasehat dan ajakan untuk berbuat baik dilakukan dengan cara yang lemah lembut [5] dan tidak dengan cara yang keras, kecuali dalam kondisi tertentu dan dengan pertimbangan untuk mendatangkan kebaikan yang lebih besar.

– Hadits ini menunjukkan bahwa memaksa seseorang untuk berbuat kebaikan diperbolehkan bahkan dianjurkan, jika tidak menimbulkan keburukan yang lebih besar[6].

– Imam ath-Thiibi ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata: “Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan maka semestinya dia menginginkan (kebaikan) untuk orang lain sebagaimana dia menginginkannya untuk dirinya sendiri, dengan memulai (mengusahakan kebaikan tersebut) dari orang-orang yang paling terdekat (dengannya)”[7].

 وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 28 Rabi’ul awal 1435 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] HR Abu Dawud (no. 1308), an-Nasa-i (3/205), Ahmad (2/250), Ibnu Khuzaimah (2/183), Ibnu Hibban (6/306) dan al-Hakim (1/453), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim dan syaikh al-Albani.

[2] Lihat kitab “’Aunul Ma’bud” (4/228).

[3] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[4] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/170).

[5] Lihat kitab “’Aunul Ma’bud” (4/228).

[6] Lihat kitab “’Aunul Ma’bud” (4/228).

[7] Dinukil oleh Imam al-Munawi dalam kitab “Faidhul Qadiir” (4/25).

Jumat, 22 Mei 2015

TERJEBAK MACET DI AKHIRAT




 


Terjebak macet, siapa yang mau?

Jenuh, gerah, bosan, pengap dan bising, itu sebagian alasannya.

Terlebih bila berada di dalam sebuah kendaraan yang tidak layak pakai dan dalam waktu yang lama pula. 

Pendek kata, “macet” telah menjadi suatu momok yang menakutkan.

Segala cara dilakukan, baik oleh pribadi maupun institusi, untuk menghindari atau mengurai kemacetan. 

Mencari jalur alternatif, menentukan waktu yang tepat untuk bepergian, memilih kendaraan yang nyaman dan full fasilitas guna membunuh kejenuhan bilamana harus terjebak kemacetan, dan sekian banyak usaha lainnya.

Tapi pernahkah kita berpikir, bahwa kemacetan itu bukan hanya terjadi di dunia?
  
Ada kemacetan lain yang jauh lebih mengerikan, yakni di akhirat.

Lalu apa pula yang sudah kita persiapkan agar tidak terjebak di dalam kemacetan tersebut? 

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,


لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ
                                               

Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia manfaatkan, tentang ilmunya apa yang sudah diamalkan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan, serta tentang tubuhnya untuk apa ia pergunakan”.

HR. Tirmidzy dari Abu Barzah al-Aslamy radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan sahih oleh Tirmidzy.

Empat jenis pertanggungjawaban di atas inilah yang akan merintangi jalan seorang hamba di akhirat. Umur, ilmu, harta dan tubuh.

1.   Umur yang Allah berikan kepada kita di dunia ini, lebih sering kita isi dengan sesuatu yang diridhai-Nya, atau justru sebaliknya?

2.   Ilmu yang kita ketahui, seberapa persen yang sudah kita amalkan?

3.   Harta yang kita punyai, didapatkan dengan cara seperti apa? Lalu digunakan untuk apa? Pertanyaan dobel inilah yang akan diajukan pada kita kelak, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas harta yang Allah rizkikan pada kita.

4.   Tubuh yang kita miliki, lebih banyak kita pergunakan untuk apa? Untuk menjalankan ketaatan kepada Allah kah? Atau untuk berbuat maksiat kepada-Nya?

Ketika seluruh karunia di atas bisa kita pertanggungjawabkan dengan baik, saat itulah perjalanan kita berikutnya di alam akhirat akan lancar.

Namun, bila justru yang terjadi adalah sebaliknya, maka bersiaplah untuk terjebak macet di akhirat!

Kedua kaki ini akan terpancang kaku! Na’udzubillah min dzalik…

Berhasil atau tidaknya kita melewati rintangan ini, tergantung taufik dari Allah ta’ala. 

Juga sejauh mana persiapan kita di dunia ini untuk menghadapi hari yang maha dahsyat. 

Selamat bersiap-siap menghadapi hari itu!

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 16 Ramadhan 1434 / 25 Juli 2013