Kamis, 04 Februari 2016

Riba dalam Sisa Hasil Usaha Koperasi Simpan Pinjam


Ada koperasi yang usahanya adalah riil, sehingga hasilnya pun dibagi kepada setiap 

anggota berupa sisa hasil usaha (SHU). 

Namun ada juga koperasi yang bentuknya simpan pinjam, di akhir tahun pun membagi 

keuntungan dari simpan pinjam tersebut. 

Apakah ini dihukumi riba?


Menilik SHU
Pengertian SHU menurut UU No. 25/1992, tentang perkoperasian, Bab IX, pasal 45 adalah :
SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang 

dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang 

bersangkutan.
Adapun perlakuan terhadap SHU adalah sisa hasil usaha setelah dikurangi dana 

cadangan, 

dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-

masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk pendidikan perkoperasian dan 

keperluan lain dari koperasi, sesuai dengan keputusan rapat anggota.

SHU dari Simpan Pinjam
Masalah yang kita kritisi saat ini adalah jika sisa hasil usaha ditarik dari simpan pinjam. 

Jika anggota atau pihak lain yang mengajukan pinjaman pada koperasi, lalu dikenai 

tambahan dari koperasi, ini dihukumi riba. Karena setiap utang piutang yang ditarik 

keuntungan, maka itu adalah haram. Itu berarti bunga dari simpan pinjam tersebut adalah 

riba.
Dalam hadits disebutkan,
كل قرض جر منفعة فهو حرام
Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.” 

Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana Syaikh Al Albani menyebut dalam  

Dho’iful Jami’ no. 4244. Namun berdasarkan kata sepakat para ulama -sebagaimana 

disebutkan oleh Ibnu Mundzir-, perkataan di atas benar adanya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa 

diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,
“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman 

memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, 

lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka 

melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat 

sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah 

keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” 

Lihat Al Mughni, 6: 436.
Jadi walaupun dinamakan sisa hasil usaha, namun kalau hakikatnya adalah riba, maka 

hukumnya jelas haram.


Belajar Melihat Hakikat, Jangan Sekedar Melihat Istilah “Syari’ah”

Seorang muslim harus cerdas melihat hakikat suatu transaksi, yaitu apa yang sebenarnya 

terjadi, bukan hanya melihat istilah atau nama. Karena istilah dan embel-embel syar’i 

kadang menipu. Dikatakan bagi hasil atau sisa hasil usaha, namun kalau ditilik, yang nyata 

itu adalah riba. Karena di dalamnya yang terjadi adalah utang-piutang (bukan jual beli) dan 

ditarik keuntungan. Itulah riba.

Adapun jika pendapatan koperasi bercampur antara hasil usaha riil dengan simpan pinjam, 

maka pendapat seperti itu harus dipisahkan. Yang haram tersebut mesti dibersihkan 

dengan disalurkan pada kemaslahatan kaum muslimin, bukan dimanfaatkan oleh anggota 

secara pribadi. 

Tentu saja SHU seperti itu mesti dihapus dan hendaklah semakin bertakwa pada Allah 

dengan meninggalkan yang haram.

 

Ancaman Bagi Para Rentenir

Jika koperasi menarik keuntungan dari simpan pinjam, maka hakekatnya koperasi 

hanyalah sebagai rentenir, namun berkedok usaha resmi. Rentenir ini terkena ancaman 

laknat dalam hadits,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba 

(nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang 

menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 

1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai 

haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).



Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Hambali, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan tahun 1432 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar