anggota berupa sisa hasil usaha (SHU).
Namun ada juga koperasi yang bentuknya simpan pinjam, di akhir tahun pun membagi
keuntungan dari simpan pinjam tersebut.
Apakah ini dihukumi riba?
Menilik SHU
Pengertian SHU menurut UU No. 25/1992, tentang perkoperasian, Bab IX, pasal 45 adalah :
SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang
dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang
bersangkutan.
Adapun perlakuan terhadap SHU adalah sisa hasil usaha setelah dikurangi dana
cadangan,
dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-
masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk pendidikan perkoperasian dan
keperluan lain dari koperasi, sesuai dengan keputusan rapat anggota.
SHU dari Simpan Pinjam
Masalah yang kita kritisi saat ini adalah jika sisa hasil usaha ditarik dari simpan pinjam.
Jika anggota atau pihak lain yang mengajukan pinjaman pada koperasi, lalu dikenai
tambahan dari koperasi, ini dihukumi riba. Karena setiap utang piutang yang ditarik
keuntungan, maka itu adalah haram. Itu berarti bunga dari simpan pinjam tersebut adalah
riba.
Dalam hadits disebutkan,
كل قرض جر منفعة فهو حرام
“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.” Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana Syaikh Al Albani menyebut dalam
Dho’iful Jami’ no. 4244. Namun berdasarkan kata sepakat para ulama -sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Mundzir-, perkataan di atas benar adanya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,
“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman
memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah,
lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka
melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat
sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah
keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.”
Lihat Al Mughni, 6: 436.
Jadi walaupun dinamakan sisa hasil usaha, namun kalau hakikatnya adalah riba, maka
hukumnya jelas haram.
Belajar Melihat Hakikat, Jangan Sekedar Melihat Istilah “Syari’ah”
Seorang muslim harus cerdas melihat hakikat suatu transaksi, yaitu apa yang sebenarnya
terjadi, bukan hanya melihat istilah atau nama. Karena istilah dan embel-embel syar’i
kadang menipu. Dikatakan bagi hasil atau sisa hasil usaha, namun kalau ditilik, yang nyata
itu adalah riba. Karena di dalamnya yang terjadi adalah utang-piutang (bukan jual beli) dan
ditarik keuntungan. Itulah riba.
Adapun jika pendapatan koperasi bercampur antara hasil usaha riil dengan simpan pinjam,
maka pendapat seperti itu harus dipisahkan. Yang haram tersebut mesti dibersihkan
dengan disalurkan pada kemaslahatan kaum muslimin, bukan dimanfaatkan oleh anggota
secara pribadi.
Tentu saja SHU seperti itu mesti dihapus dan hendaklah semakin bertakwa pada Allah
dengan meninggalkan yang haram.
Ancaman Bagi Para Rentenir
Jika koperasi menarik keuntungan dari simpan pinjam, maka hakekatnya koperasihanyalah sebagai rentenir, namun berkedok usaha resmi. Rentenir ini terkena ancaman
laknat dalam hadits,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba
(rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang
menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no.
1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai
haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Hambali, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan tahun 1432 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar