Jumat, 26 Februari 2016

Renungan bagi para da'i






قال خلف بن تميم رحمه الله :
سمعت سفيان الثوري بمكة وقد كثر الناس عليه، فسمعته يقول: ضاعت الأمة حين
احتيج إلى مثلي
 
Kholaf bin Tamim berkata : Aku mendengar Sufyan Ats-Tsaury di Mekah -tatkala banyak orang mengerumuni beliau- (karena luasnya ilmu beliau-pen), 

maka aku mendengar beliau berkata, "Umat menjadi terbengkalai tatkala dibutuhkan orang sepertiku" (Tahdzibul Hilyah 2/363)
 
Lihatlah Imam Sufyan Ats-Tsaury yang tenar akan ilmu dan takwanya, akan tetapi beliau tdk merasa ujub dan merasa bangga tatkala dikerumuni oleh banyak orang yg ingin menimba ilmunya darinya. 

Maka jangan sampai sebagian kita para da'i yg sangat minim ilmunya tapi selalu merasa umat membutuhkannya?, 

merasa kalau tdk ada dia maka umat dan dakwah akan terbengkalai?
 
Hendaknya kita tetap terus berdakwah dengan menghadirkan kebahagiaan bahwasanya Allah masih menggunakan kita untuk dakwah, Allah masih memasukan mita dalam rel dakwah. Tanpa ujub apalagi merasa "sangat" dibutuhkan umat. 

Justru kita yang sangat butuh untuk berdakwah untuk menyelamatkan diri kita. Jangan sampai ujub, sungguh kalau kita pun tidak ada maka Allah akan menyiapkan da'i-da'i yang lebih berilmu dan dan lebih ikhlash dari pada kita.

Rabu, 10 Februari 2016

Abu Lahab, Penentang Kelas Kakap



Paman Nabi yang hidup di masa kerasulan ada empat orang. 

Dua orang beriman kepada risalah Islam dan dua lainnya kufur bahkan menentang. 

Dua orang yang beriman adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan al-Abbas bin Abdul 
Muthalib radhiallahu ‘anhuma

Satu orang menolong dan menjaganya, tidak menentang dakwahnya, namun ia tidak menerima agama Islam yang beliau bawa. Di adalah Abu Thalib bin Abdul Muthalib. 

Dan yang keempat adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia menentang dan memusuhui keponakannya. Bahkan menjadi tokoh orang-orang musyrik yang memerangi beliau .

Nama terakhir ini kita kenal dengan Abu Lahab. Dan Alquran mengabadikannya dengan nama itu.


Sifat Fisiknya

Lewat film dan gambar-gambar, Abu Lahab dikenalkan dengan perawakan jelek (tidak tampan) dan hitam. 

Sehingga kesan garang seorang penjahat begitu cocok dengan penampilannya. 

Namun, sejarawan meriwayatkan bahwa Abu Lahab adalah sosok yang sangat putih kulitnya. Seorang laki-laki tampan dan sangat cerah wajahnya. Demikianlah orang-orang jahiliyah mengenalnya.

Pelajaran bagi kita, Abu Lahab memiliki nasab yang mulia. Seorang Quraisy. Paman dari manusia terbaik dan rasul yang paling utama, Muhammad . Memiliki kedudukan di tengah kaumnya. Memiliki paras yang rupawan. 

Namun semuanya tidak ada artinya tanpa keimanan. 

Allah hinakan dia dengan mencatatnya sebagai seorang yang celaka. Dan dibaca oleh manusia hingga hari kiamat dalam surat al-Masad.

Sementara Bilal bin Rabah. Seorang budak, hitam, tidak pula tampan, dan jauh dari kedudukan serta kemapanan. 

Namun Allah muliakan dengan keimanan. Oleh karena itu, janganlah tertipu dengan keadaan.

Rasulullah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. 

Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).


Mengapa Ia Disebut Abu Lahab?

Kun-yah dari Abdul Uzza bin Abdul Muthalib adalah Abu Lahab. Lahab artinya api. 

Karena Abdul Uzza ketika marah, rona wajahnya berubah menjadi merah layaknya api. 

Dengan kun-yahnya inilah Alquran menyebutnya, bukan dengan nama aslinya. Alasannya:

Pertama: Karena Alquran tidak menyebutkan nama dengan unsur penghambaan kepada selain Allah. 

Namanya adalah Abdul Uzza yang berarti hambanya Uzza. Uzza adalah berhala musyrikin Mekah.

Kedua: Orang-orang lebih mengenalnya dengan kun-yahnya dibanding namanya.

Ketiga: Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya bahwa nama asli itu lebih mulia dari kun-yah. 

Oleh karena itu, Allah menyebut para nabi-Nya dengan nama-nama mereka sebagai pemuliaan. Dan menyebut Abu Lahab dengan kun-yahnya. Karena kun-yah kedudukannya di bawah nama. Ini menurut al-Qurthubi rahimahullah.

Orang-orang di masanya juga mengenal Abu Lahab dengan Abu Utbah (ayahnya Utbah). 

Namun karena kekafiran, Allah kekalkan nama Abu Lahab untuknya. Sebenarnya ia adalah tokoh Mekah yang cerdas. 

Sayang kecerdasan dan kepandaiannya tidak bermanfaat sama sekali di sisi Allah, karena tidak ia gunakan untuk merenungkan kebenaran syariat Islam yang lurus.


Anak-anaknya

Abu Lahab memiliki tiga orang anak laki-laki. 

Mereka adalah Utbah, Mut’ib, dan Utaibah. 

Dua nama pertama memeluk Islam saat Fathu Mekah. Sedangkan Utaibah tetap dalam kekufuran.

Di antara kebiasaan bangsa Arab adalah menikahkan orang-orang dalam lingkar keluarga dekat. 

Sebelum menjadi rasul, Rasulullah menikahkan anaknya Ummu Kultsum dengan Utaibah dan Ruqayyah dengan Utbah. 

Ketika surat Al-Masad turun, Abu Lahab mengultimatum kedua putranya, “Kepalaku dari kepala kalian haram, sebelum kalian ceraikan anak-anak perempuan Muhammad!!”, kata Abu Lahab. 

Ia mengancam kedua putranya tidak akan bertemu dan berbicara kepada mereka sebelum menceraikan putri Rasulullah .

Ketika Utaibah hendak bersafar bersama ayahnya menuju Syam, ia berkata, “Akan aku temui Muhammad. Akan kusakiti dia dan kuganggu agamanya. 

Saat di hadapannya kukatakan padanya, ‘Wahai Muhammad, aku kufur dengan bintang apabila ia terbenam dan apabila ia dekat dan bertambah dekat lagi…’ 

Lalu Utaibah meludahi wajah nabi kemudian menceraikan anak beliau, Ummu Kultsum.

Nabi mendoakan keburukan untuknya, “Ya Allah, binasakan dia dengan anjing dari anjing-anjingmu.” (Dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/39). Utaibah pun tewas diterkam singa.

Sementara Abu Lahab mati 7 hari setelah Perang Badr. Ia menderita bisul-bisul di sekujur tubuh. 3 hari mayatnya terlantar. Tak seorang pun yang mau mendekati bangkai si kafir itu. 

Karena malu, keluarganya menggali lubang kemudian mendorong tubuh Abu Lahab dengan kayu panjang hingga masuk ke lubang itu. Kemudian mereka lempari makamnya dengan batu hingga jasadnya tertimbun. 

Tidak ada seorang pun yang mau membopong mayitnya, karena takut tertular penyakit. Ia mati dengan seburuk-buruk kematian.


Pasangan Dalam Keburukan

Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil Aura’. Nama yang tak seindah karakter aslinya. 

Ia diabadikan dalam surat al-Masad sebagai wanita pembawa kayu bakar. 

Perlakuannya amat buruk terhadap Rasulullah . Ia taruh kayu dan tumbuhan berduri di jalan yang biasa dilewati Rasulullah   di malam hari agar Nabi tersakiti. Ia tak kalah buruk dengan suaminya.

Ummu Jamil adalah wanita yang suka mengadu domba dan menyulut api permusuhan di tengah masyarakat. 

Ia memiliki kalung mahal dari permata, “Demi al-Lat dan al-Uzza, akan kuinfakkan kalung ini untuk memusuhi Muhammad”, katanya. 

Allah gantikan kalung indah itu dengan tali dari api Jahannam untuk mengikat lehernya di neraka.

Ketika Allah menurunkan surat al-Masad yang mencelanya dan sang suami, wanita celaka ini langsung mencari Rasulullah . Sambil membawa potongan batu tajam, ia masuk ke Masjid al-Haram. 

Rasulullah bersama Abu Bakar berada di sana. Saat telah dekat, Allah butakan pandangannya dari melihat Rasulullah . Ia hanya melihat Abu Bakar. Tak ada Muhammad di sampingnya.

“Wahai Abu Bakar, aku mendengar temanmu itu mengejekku dan suamiku! 

Demi Allah, kalau aku menjumpainya akan aku pukul wajahnya dengan batu ini!!” Cercanya penuh emosi.

Kemudian ia bersyair,

مُذمماً عصينا ، وأمره أبينا ، ودينه قلينا

Orang tercela kami tentang
 
Urusan kami mengabaikannya
 
Dan agamanya kami tidak suka

Ia ganti nama Muhammad (yang terpuji) dengan Mudzammam (yang tercela). Kemudian ia pergi.

Abu Bakar bertanya heran, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengira dia melihatmu?”

“Dia tidak melihatku. Allah telah menutupi pandangannya dariku”, jawab Rasulullah .


Pelajaran:

Pertama: Abu Lahab memiliki segalanya. Ia menyandang nasab mulia, bangsawan dari kalangan bani Hasyim. Terpandang dan memiliki kedudukan di tengah kaumnya. Paman manusia terbaik sepanjang masa. 

Berwajah tampan. Seorang yang cerdas dan pandai memutuskan masalah. 

Profesinya pebisnis, mengambil barang dari Syam untuk dipasok di Mekah atau sebaliknya. 

Tapi sama sekali tidak bermanfaat untuknya. Karena itu, seseorang jangan tertipu dengan dunia yang ia miliki. Apalagi yang tidak memiliki dunia.

Kedua: Penampilan fisik, kedudukan, kekayaan, bukanlah acuan seseorang itu layak diikuti dan didengarkan ucapannya. 

Karena sering kita saksikan di zaman sekarang, orang kaya lebih didengar dan diikuti daripada para ulama. 

Ketika motivator bisnis, mereka yang menyandang gelar akademik tinggi, berbicara tentang agama, masyarakat awam langsung menilainya sebuah kebenaran.

Ketiga: Pasangan seseorang itu tergantung kualitas dirinya. Ia bagaikan cermin kepribadian.

Keempat: Hidayah Islam dan iman itu mahal dan berharga. Sebuah kenikmatan yang tidak Allah berikan kepada keluarga para nabi. 

Anak Nabi Nuh, istri Nabi Luth, ayah Nabi Ibrahim, dan paman Rasulullah Muhammad , Abu Thalib dan Abu Lahab, tidak mendapatkan kenikmatan ini. 

oleh karena itu, kita layak bersyukur. Allah memilih kita menjadi seorang muslim sementara sebagian keluarga para nabi tidak. Pantas kita syukuri nikmat ini dengan mempelajari Islam, mengamalkan, dan mendakwahkannya.

Sumber:
 
– Hisyam, Ibnu. 2009. Sirah Ibnu Hisyam. Beirut: Dar Ibn Hazm.
 
– Tafsir al-Qurthubi surat al-Masad ayat 1-5: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/qortobi/sura111-aya1.html
 
– Tafsir Ibnu Katsir surat al-Masad ayat 1-5: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura111-aya1.html#katheer

Oleh Nufitri Hadi (@nfhadi07)
 
Artikel www.KisahMuslim.com

Jumat, 05 Februari 2016

Ada Apa Dengan Bank Konvensional?



Perekonomian adalah salah satu bidang yang diperhatikan oleh syari’at Islam dan diatur 

dengan undang-undang yang penuh dengan kebaikan dan bersih dari kedhaliman. 

Oleh  karenanya, Allah mengharamkan riba yang menyimpan berbagai dampak negatif 

bagi umat manusia dan merusak perekonomian bangsa.

Sejarah dan fakta menjadi saksi nyata bahwa suatu perekonomian yang tidak dibangun 

di atas undang-undang Islam, maka kesudahannya adalah kesusahan dan kerugian. 

Bila anda ingin bukti sederhana, maka lihatlah kepada bank-bank konvensional yang 

ada di sekitar kita, bagaimana ia begitu megah bangunannya, tetapi keberkahan 

tiada terlihat darinya. Sungguh benar firman Allah:

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. (QS. Al-Baqoroh: 276)
Nah, di sinilah pentingnya bagi kita untuk mengetahui masalah Bank konvensional dan 

sejauh mana kesesuaiannya dengan hukum Islam karena pada zaman sekarang ini, 

Bank bagi kehidupan manusia hampir sulit dihindari.
 

DEFENISI BANK DAN SEJARAHNYA

Bank diambil dari bahasa Italia yang artinya meja

Konon penamaan itu disebabkan karena pekerjanya pada zaman dulu melakukan 

transaksi jual beli mata uang di tempat umum dengan duduk di atas meja. 

Kemudian modelnya terus berkembang sehingga berubah menjadi Bank yang 

sekarang banyak kita jumpai.

Bank didefenisikan sebagai suatu tempat untuk menyimpan harta manusia secara 

aman dan mengembalikan kepada pemiliknya ketika dibutuhkan. 

Pokok intinya adalah menerima tabungan dan memberikan pinjaman.

Bank yang pertama kali berdiri adalah di Bunduqiyyah, salah satu kota di Negara Italia 

pada tahun 1157 M. 

Kemudian terus mengalami perkembangan hingga perkembangan yang pesat sekali 

adalah pada abad ke-16, di mana pada tahun 1587 berdirilah di Negara Italia sebuah 

bank bernama Banco Della Pizza Dirialto dan berdiri juga pada tahun 1609 

bank Amsterdam Belanda, kemudian berdiri bank-bank lainnya di Eropa. 

Sekitar tahun1898, Bank masuk ke Negara-negara Arab, di Mesir berdiri Bank 

Ahli Mishri dengan modal lima ratus ribu Junaih [1].
 

PEKERJAAN BANK

Seorang tidak bisa menghukumi sesuatu kecuali setelah mengetahui gambarannya 

dan pokok permasalahannya. 

Dari sinilah, penting bagi kita untuk mengetahui hakekat Bank agar kita bisa 

menimbangnya dengan kaca mata syari’at.

Pekerjaan Bank ada yang boleh dan ada yang haram, hal itu dapat kita gambarkan 

secara global sebagai berikut:
 

A. Pekerjaan Bank Yang Boleh

1. Transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman.

2. Menerbitkan kartu ATM untuk memudahkan pemiliknya ketika bepergian 

    tanpa harus memberatkan diri dengan membawa uang di tas atau dompet.

3. Menyewakan lemari besi bagi orang yang ingin menaruh uang di situ.

4. Mempermudah hubungan dengan Negara-negara lain, di mana Bank banyak 

    membantu para pedagang dalam mewakili penerimaan kwitansi pengiriman barang 

    dan menyerahkan uang pembayarannya kepada penjual barang.

Pekerjaan-pekerjaan di atas dengan adanya ongkos pembayaran hukumnya adalah boleh 

dalam pandangan syari’at.
 

B. Pekerjaan Bank Yang Tidak Boleh

1. Menerima tabungan dengan imbalan bunga, lalu uang tabungan tersebut akan 

   digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada manusia dengan 

   bunga yang berlipat-lipat dari bunga yang diberikan kepada penabung.

2. Memberikan pinjaman uang kepada para pedagang dan selainnya dalam tempo 
  
    waktu tertentu dengan syarat peminjam harus membayar lebih dari hutangnya 

    dengan peresentase.

3. Membuat surat kuasa bagi para pedagang untuk meminjam kepada Bank tatkala 

    mereka membutuhkan dengan jumlah uang yang disepakati oleh kedua belah pihak. 

   Tetapi bunga di sini tidak dihitung kecuali setelah menerima pinjaman. [2]
 

BUNGA BANK ADALAH RIBA

Dengan gambaran di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa kebanyakan pekerjaan Bank 

dibangun di atas riba yang hukumnya haram berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan 

kesepakatan ulama Islam.

1. Dalil Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

  
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqoroh: 275)

Cukuplah bagi seorang muslim untuk membaca akhir surat Al-Baqoroh ayat 275-281, 

maka dia akan merinding akan dahsyatnya ancaman Allah kepada pelaku riba. 

Bacalah dan renungkanlah !!
 
2. Dalil hadits
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya,

sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
 
3. Dalil Ijma’
  • Para ulama sepanjang zaman telah bersepakat tentang haramnya riba, barangsiapa 
          membolehkannya maka dia kafir [3]. Bahkan, riba juga diharamkan dalam 

         agama-agama sebelum Islam. Imam al-Mawardi berkata: “Allah tidak pernah 

         membolehkan zina dan riba dalam syari’at manapun”.[4]

  • Kalau ada yang berkata: Kami sepakat dengan anda bahwa riba hukumnya 
         adalah haram, tetapi apakah bunga Bank termasuk riba?! 

         Kami jawab: Wahai saudaraku, janganlah engkau tertipu dengan perubahan nama. 

         Demi Allah, kalau bunga Bank itu tidak dinamakan dengan riba, maka tidak ada riba 

         di dunia ini, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas 

        pokok harta, inilah keadaan bunga bank konvensional itu.

Kami tidak ingin memperpanjang permasalahan ini. Cukuplah sebagai renungan

bagi kita bahwa telah digelar berbagai seminar dan diskusi tentang masalah ini,

semunya menegaskan kebulatan bahwa bunga Bank konvensional adalah riba

yang diharamkan Allah [5]. Bahkan dalam muktamar pertama tentang

perekonomian Islam yang digelar di Mekkah dan dihadiri oleh tiga ratus peserta
yang terdiri dari ulama syari’at dan pakar ekonomi internasional, tidak ada
satupun di antara mereka yang menyelisihi tentang haramnya bunga Bank.
 
Sebagai faedah, kami akan menyebutkan beberapa fatwa dan muktamar besar yang 

menyimpulkan haramnya bunga Bank:
  1. Keputusan muktamar kedua Majma’ Buhuts Islamiyyah di Kairo pada bulan
  2.          Muharram tahun 1385 H/Bulan Mei tahun 1965 M dan dihadiri oleh para 
       
             peserta dari tiga puluh Negara.
  3. Keputusan muktamar kedua Majma’ Fiqih Islami di Jeddah
  4.           pada 10-16 Rabi’ Tsani 1406 H/22-28 Desember 1985 M.
  5. Keputusan Majma’ Robithoh Alam Islami yang diselenggarakan di Mekkah
  6.           hari sabtu 12 Rojab 1406 H sampai sabtu 19 Rojab 1406 H.
  7. Keputusan muktamar kedua tentang ekonomi Islami di Kuwait pada tahun
  8.          1403 H/1983 M.
  9. Keputusan Majma’ Fiqih Islam di India pada bulan Jumadi Ula 1410 H.[6]
  • Setelah menukil ijma’ ulama tentang masalah haramnya bunga bank,  
         DR. Ali bin Ahmad As-Salus mengatakan:
“Dengan demikian, maka masalah bunga bank menjadi masalah haram yang
          jelas dan bukan lagi perkara yang samar, sehingga tidak ada ruang lagi 

          untuk perselisihan dan fatwa-fatwa pribadi”.[7]
 

Setelah konsensus ini, maka janganlah kita tertipu dengan berbagai syubhat (kerancuan) 

sebagian kalangan [8] yang berusaha untuk membolehkan riba Bank, apalagi para ulama 

telah bangkit untuk membedah syubhat-syubhat tersebut.[9]
 

BEKERJA DI BANK

Bila kita ketahui bahwa Bank adalah tempat riba yang diharamkan dalam Islam, maka 

bekerja di Bank hukumnya adalah haram, karena hal itu berarti membantu mereka dalam 

keharaman dan dosa, atau minimalnya adalah berarti dia ridho dengan kemunkaran yang 

dia lihat. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
 Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan 

tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada 

Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah: 2)

Ayat ini merupakan kaidah umum tentang larangan tolong menolong di atas dosa dan 

kemaksiatan. Oleh karenanya, para ahli fiqih berdalil dengan ayat di atas 

tentang haramnya jual beli senjata pada saat fitnah, jual beli lilin untuk hari raya Nashoro 

dan sebagainya, karena semua itu termasuk tolong menolong di atas kebathilan.

Lebih jelas lagi, perhatikan bersamaku hadits berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, 

sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
  • Imam Nawawi berkata: “Hadits ini jelas menunjukkan haramnya menjadi sekretaris 
          untuk riba dan saksinya. Hadits ini juga menunjukkan haramnya membantu 

          kebathilan”.[10]


Para ulama kita sekarang telah menegaskan tentang tidak bolehnya menjadi 

pegawai Bank, sekalipun hanya sebagai satpam. Kewajiban baginya adalah menghindari 

dari laknat Allah dan mencari pekerjaan lain yang halal, sesungguhnya Allah Maha luas 

rizkiNya.[11]
 

BOLEHKAH MENYIMPAN UANG DI BANK?

Pada asalnya menyimpan uang di Bank hukumnya tidak boleh karena hal itu termasuk  

membantu kelancaran perekonomian riba yang jelas hukumnya haram, sebab uang 

tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada orang lain dengan 

riba. Oleh karena itu, maka pada asalnya setiap muslim harus putus hubungan dan thalak 

tiga dengan Bank. Hanya saja, pada zaman sekarang terkadang seorang tidak bisa 

menghindari diri dari Bank, sehingga para ulama membolehkannya apabila dalam keadaan 

dharurat sekali dan tidak ada cara lain untuk menyimpan hartanya.

Dari sini, dapat kita katakan bahwa orang yang menyimpan uang di Bank tidak keluar 

dari dua keadaan:
 
Pertama: Orang yang ingin membungakan dan mengembangkan hartanya dengan jalan 

riba. Tidak ragu lagi bahwa orang ini telah terjatuh dalam keharaman dan terancam dengan 

peperangan Allah dan rasulNya. Lantas, siapakah yang menang jika berhadapan dengan 

Allah dan rasulNya?!
فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ
 Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqoroh: 279)
Kedua: Orang yang ingin menyimpan hartanya agar aman. Hal ini terbagi menjadi 

beberapa keadaan:
1. Apabila ada tempat lain atau bank Islam yang bersih dari riba untuk
             penyimpanan secara aman, maka tidak boleh dia menyimpan di bank konvensional 

             karena tidak ada kebutuhan mendesak dan ada pengganti lainnya yang boleh.
2. Apabila tidak ada bank Islami yang bersih dari riba atau tempat aman lainnya
             padahal dia sangat khawatir bila harta tersebut akan dicuri atau lainnya, 

            maka hukumnya adalah boleh karena dharurat. Hal ini berbeda-beda sesuai 

            keadaan manusia. Artinya, tidak semua orang terdesak untuk menyimpan 

            uangnya di Bank. 

Maka hendaknya seorang bertaqwa dan takut kepada Allah, janganlah dia meremehkan 

dengan alasan dharurat padahal tidak ada dharurat sama sekali sebagaimana banyak 

dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin.[12]
 

MEMANFAATKAN BUNGA BANK

Kalau kita katakan bahwa boleh menabung di Bank dalam kondisi dharurat, 

maka tentu saja akan muncul pertanyaan: Apa yang kita perbuat dengan bunga 

(baca: riba) yang diberikan Bank kepada tabungan kita?!

Kami katakan: Ada beberapa kemungkinan apa yang kita lakukan terhadapnya:
1. Mengambilnya dan memanfaatkannya seperti uang pokok.

2. Membiarkannya untuk Bank agar dimanfaatkan sesuka Bank.

3. Mengambilnya lalu merusaknya.

4. Mengambilnya lalu memberikannya kepada fakir miskin atau untuk keperluan

   umum bagi kemaslahatan kaum muslimin
5. Mengambilnya dan memberikannya kepada orang yang dizhalimi oleh Bank
              dengan riba.


Pendapat yang paling mendekati kebenaran -menurut kami- adalah pendapat keempat 

yaitu mengambilnya dan memberikannya kepada fakir miskin atau keperluan umum bukan 

dengan niat sedekah tetapi untuk membebaskan diri dari uang yang haram. 

Inilah pendapat yang dipilih oleh para ulama seperti Lajnah Daimah[13], al-Albani[14],  

Musthofa az-Zarqo dan lain sebagainya[15].
 

SOLUSI DAN SERUAN
  • Setelah keterangan singkat di atas maka sudah semestinya bagi kaum muslimin, 
         khususnya kepada para pemimpin [16] untuk mengingkari bersama praktek riba 

         yang berkembang di Bank dan berusaha untuk mendirikan Bank-Bank Islam 

         yang bersih dari riba dan sesuai dengan undang-undang syari’at Islam yang mulia, 

         atau memperbaiki bank-bank Islam yang sudah ada karena masih disinyalir 

         oleh banyak kalangan belum bersih dari praktek riba dan belum memadai 

         pelayanannya di semua penjuru kota.

  • Sungguh keji keji ucapan seorang bahwa tidak ada Bank kecuali dengan bunga dan
         tidak ada kekuatan ekonomi Islam kecuali dengan Bank [17]. Ini adalah kedustaan 

         nyata, sebab sepanjang sejarah Islam berabad-abad lamanya, perekonomian mereka 

         stabil tanpa Bank Riba.

  • Sekali lagi, kami menghimbau kepada para ulama, para pemimpin, para ahli ekonomi, 
         para pedagang besar untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah ini dengan 

         harapan agar Bank-Bank Islam yang bersih dari kotoran riba akan banyak 

         bermunculan di Negeri kita tercinta sehingga kita tidak lagi membutuhkan kepada 

         bank-bank riba. Dan kewajiban bagi setiap muslim untuk bahu-membahu mendukung 

         ide tersebut agar mereka selamat dari jeratan riba yang menyebabkan murka Allah.

disusun oleh:
 
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi
 
DAFTAR REFERENSI

1. Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh fil Fiqih Al-Islami karya DR. Muhammad Utsman Syubair, cet Dar Nafais, Yordania, cet keenam tahun 1427 H.

2. Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh karya Sa’aduddin Muhammad Al-Kibbi, cet Maktab Islami, Bairut, cet pertama 1423 H.

3. Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu’ashiroh karya DR. Abdullah bin Muhammad As-Saidi, cet Dar Thoibah, KSA, cet kedua 1421.

4. Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh karya Muhammad Burhanuddin, cet Darul Qolam, Bairut, cet pertama 1408 H.

5. Fawaidul Bunuk Hiya Riba Al-Harrom karya DR. Yusuf al-Qorodhawi, cet Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet kedua tahun 1423 H.

6. Dan lain-lain.

[1] Al-Mashorif wa Buyutu Tamwil Islamiyyah karya Ghorib al-Jamaal hlm. 23, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh karya DR. Muhammad Utsman Syubair hlm. 252-253, Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mashrofiyyah karya Umar Al-Mutrik hlm. 309.
 
[2] Al-Bunuk Al-Islamiyyah Baina Nadhoriyyah wa Tathbiq hlm. 37-39 karya DR. Abdullah bin Ahmad ath-Thoyyar, Al-Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Mu’ashiroh hlm. 253-254 karya Sa’aduddin Muhammad Al-Kibbi, Al-Jami’ fi Fiqhi Nawazil 1/92 karya Shalih bin Abdillah al-Humaid.
 
[3] Lihat Al-Ifshoh Ibnu Hubairah 1/326, Syarh Muslim an-Nawawi 4/93-94, Az-Zawajir Al-Haitsami 1/222, Al-Muqoddimat wal Mumahhidat Ibnu Rusyd 2/503.
 
[4] Al-Hawii Al-Kabir 5/74.
 
[5] Lihat kitab Syaikh DR. Yusuf Al-Qorodhowi yang berjudul “Fawaidul Bunuk Hiya Riba 
Al-Harom” (Bunga Bank Adalah Riba Yang Haram), cet kedua 1421 H, Muassasah Ar-Risalah, Bairut.
 
[6] Lihat teks-teks keputusan tersebut dalam Fawaid Bunuk Hiya Riba Muharrom hlm. 106-122 karya Yusuf Al-Qorodhowi
dan Fiqih Nawazil oleh al-Jizani 3/136-145.
 
[7] Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh fi Dhoui Syari’ah Islamiyah hlm. 36, dinukil juga oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam risalah Ar-Riba hlm.31-32.
 
[8] Lihat kitab Al-Ashroniyyun hlm. 259-261 oleh Muhammad Hamid an-Nashir dan Manhaj Tasir Al-Mu’ashir hlm. 152-161 oleh Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil.
 
[9] Lihat bantahan syubhat-syubhat masalah ini dalam Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu’ashiroh karya DR. Abdullah bin Muhammad as-Saidi dan Taudhiful Amwal Bainal Masyru’ wal Mamnu’ oleh DR. Abdullah bin Muhammad ath-Thoyyar hlm. 64-75.
 
[10] Syarh Shohih Muslim 11/26.
 
[11] Lihat Fatawa Ulama Baladil Haram hlm. 1187-1193 kumpulan DR. Khalid al-Juraisi, Fatawa Al-Ahum wal Bunuk hlm. 53 kumpulan Abdurrahman asy-Syitri, Fatawa Lajnah Daimah 13/344 kumpulan Ahmad ad-Duwaisy.
 
[12] Lihat Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu’ashiroh 2/923-959 oleh DR. Abdullah bin Muhammad as-Sa’idi, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh hlm. 267 oleh Sa’aduddin Muhammad al-Kibbi, Qodhoya Fiqhiyyah Muashiroh hlm. 16-18 oleh Muhammad Burhanuddin, Mu’amalat Bunuk Al-Haditsah hlm. 49 oleh DR. Ali As-Salus, Fatawa Lajnah Daimah 13/346-351.
 
[13] Lajnah Daimah adalah lembaga fatwa di Saudi Arabia, diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota: Abdullah al-Ghudayyan, Shalih al-Fauzan, Abdul Aziz Alu Syaikh, Bakr Abu Zaid. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/354).
 
[14] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pernah menulis surat kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz berisi pembahasan tentang uang riba yang disimpan di bank-bank. Beliau berkesimpulan bahwa uang-uang tersebut boleh untuk digunakan dalam kebaikan-kebaikan selain makan, minum dan pakaian. Dan digunakan dalam hal-hal yang akan habis seperti bensin, kayu baker, memperbaiki WC dan jalan umum serta mencetak kitab…Syaikh Ibnu Baz akhirnya menulis jawaban yang berisi bahwa beliau setuju dengan pendapatnya. (Al-Imam Al-Albani Durusun wa ‘Ibar hlm. 258 karya Syaikh DR. Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan).
 
[15] Lihat Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh hlm. 26-27 oleh Muhammad Burhanuddin, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mua’shiroh hlm. 276-286 karya Sa’aduddin Muhammad al-Kibbi).
 
[16] Alangkah bagusnya ucapan Imam Al-Mawardi: “Adapun muamalat yang munkar seperti zina dan transaksi jual beli haram yang dilarang syari’at sekalipun kedua belah pihak saling setuju, apabila hal itu telah disepakati keharamannya, maka kewajiban bagi pemimpin untuk mengingkari dan melarangnya serta menghardiknya dengan hukuman yang sesuai dengan keadaan dan pelanggaran”. (Al-Ahkam As-Sulthoniyyah hlm. 406).
 
[17] Ini adalah ucapan penasehat ekonomi, Ibrahim bin Abdillah an-Nashir dalam kitabnya Mauqif Syari’ah Islamiyyah Minal Mashorif hlm. 1. Kitab ini telah diingkari secara keras oleh Majma’ Fiqih Islam dalam Muktamar di Mekkah hari Sabtu Shofar 1408 H, dan dibantah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majalah Robithoh bulan Syawal 1407 H dan Syaikh Muhammad Rosyid al-Ghufaili dalam kitab Nutaful Ma’arif fir Roddi ‘ala Man Ajaza Riba Al-Mashorif, cet Darul Wathon.