Minggu, 19 April 2015

Berbaik Sangkalah Kepada Istrimu



Cemburu memang perlu, bahkan harus. 

Namun kita mesti memosisikan sikap itu secara proporsional. Jangan sampai, karena terbakar api cemburu, terlebih hanya karena dipicu kecurigaan yang tidak beralasan, justru menyulut persoalan yang jauh lebih besar. 

Makanya, membangun sikap saling percaya mesti menjadi langkah awal saat memasuki kehidupan rumah tangga.
Katanya, cemburu tandanya cinta. Namun cemburu disertai buruk sangka bisa berujung petaka. 

Karena terus menerus berburuk sangka atau bahasa Arabnya su`uzhan terhadap pasangan hidup bakal gonjang-ganjinglah rumah tangga. 

Namun tidaklah berarti bahwa seorang suami harus membuang rasa cemburunya sama sekali, melepas kendali yang membatasi dan membuka benteng yang menutupi, sehingga setiap orang bebas keluar masuk menemui istrinya dan bebas bersamanya. 

Sungguh tidaklah pantas yang demikian itu. Bahkan suami seperti itu dikatakan dayyuts, yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:

ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوْثُ
Tiga golongan manusia yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki , dan dayyuts.” 

(HR. An-Nasa`I no. 2562, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 673, 674)
Dalam riwayat Al-Imam Ahmad rahimahullah (2/127) disebutkan dengan lafadz:

ثَلاَثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللهُُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، وَالدَّيُّوْثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخُبْثَ
“Tiga golongan manusia yang Allah Tabaraka wa Ta’ala mengharamkan surga bagi mereka, yaitu pecandu khamr, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dan dayyuts yang membiarkan kefasikan dan kefajiran dalam keluarganya .”
Pengertian dayyuts sendiri adalah seorang lelaki/suami yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarga/istrinya. Demikian diterangkan Ibnul Atsir rahimahullah dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadits (bab Ad-Dal ma’al Ya`).
Karena tidak ada rasa cemburu tersebut, ia membiarkan perbuatan keji terjadi di tengah keluarganya. Istrinya dibiarkan bebas keluar rumah tanpa berhijab. Ia malah bangga bila kecantikan dan penampilan istrinya ditonton banyak orang. 

Para lelaki pun dibiarkan dengan leluasa berbicara dan bercengkerama dengan istrinya. Hingga akhirnya si istri berselingkuh karena ia sendiri yang membukakan pintu… 

Kita mohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kekejian tersebut.

Dari penjelasan di atas, tahulah kita bahwa cemburu atau ghirah kepada istri justru perkara yang terpuji dan dituntut, di mana dengan perasaan ini seorang suami menjaga istrinya agar tidak jatuh dalam perbuatan nista dan dosa. 

Namun cemburu di sini janganlah disertai dengan su`u zhan, sehingga seorang suami selalu tajassus, memata-matai sang istri, selalu penuh curiga dan memandang dengan tatapan menuduh. 

 Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam Tanzil-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari zhan/prasangka, karena sebagian zhan/prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kalian memata-matai…” (Al-Hujurat: 12)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas: “Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari kebanyakan zhan, yaitu tuduhan dan anggapan berkhianat yang tidak pada tempatnya kepada keluarga/istri, karib kerabat, dan manusia. 

Karena sebagian dari prasangka tak lain merupakan dosa. Karena itu, jauhilah kebanyakan dari prasangka demi kehati-hatian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, hal. 1303)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَجَسَّسُوا
“Hati-hati kalian dari zhan/prasangka, karena zhan/prasangka itu adalah sedusta-dusta ucapan. Dan janganlah kalian memata-matai sesama kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 6482)
Zhan yang dilarang dalam ayat di atas dan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah su`u zhan (prasangka buruk) di mana hukumnya haram. 

Karena itulah, hadits di atas oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarah/penjelasannya terhadap Shahih Muslim diberi judul bab: Tahrimuzh Zhan wat Tajassus wat Tanafus wat Tanajusy wa Nahwiha (haramnya zhan, tajassus, tanafus, tanajusy dan semisalnya).
Al-Khaththabi rahimahullah berkata: “Zhan yang dilarang adalah zhan yang direalisasikan dan dibenarkan, bukan zhan yang sekedar terlintas dalam jiwa. Karena zhan seperti ini tidak dapat dikuasai (datang tiba-tiba tanpa dikehendaki).”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Yang dimaksudkan oleh Al-Khaththabi dengan zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menerus ada pada seseorang, menetap dalam hatinya. 

Bukan zhan yang sekedar melintas dalam hati dan tidak menetap di dalamnya karena zhan seperti ini tidak bisa dikuasai, datang begitu saja, sebagaimana telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kesalahan yang terjadi pada umat ini selama mereka tidak membicarakannya atau bersengaja melakukannya.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 16/335)
Su`u zhan yang bersarang dalam hati akan membawa seseorang untuk mengucapkan sesuatu yang tidak pantas dan melakukan perbuatan yang tidak semestinya. 

Adapun tajassus adalah mencari-cari aurat/aib dan cela seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita untuk mencari-cari kesalahan seorang muslim. Namun biarkanlah dia di atas keadaannya. 

Tutuplah mata dari sebagian keadaannya yang kalau kita periksa dan kita cari-cari niscaya akan tampak darinya perkara yang tidak pantas. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 801)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Zhan di sini adalah semata-mata tuduhan tanpa sebab. Seperti seseorang menuduh orang lain berbuat fahisyah (perbuatan keji seperti zina) sementara tidak tampak baginya bukti tuduhannya. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan zhan agar setiap mukmin memeriksa terlebih dahulu setiap zhannya, hingga ia mengetahui apa alasannya berprasangka demikian.” (Fathul Qadir, 5/78)

Baik Sangka tanpa Melepas Penjagaan
Berbaik sangka atau bahasa Arabnya husnuzhan merupakan perkara yang disenangi. Baik sangka kepada karib kerabat, tetangga dan kaum mukminin secara umum. Dan tentunya masuk dalam pembahasan kita di sini adalah baik sangka kepada istri dan tidak mencari-cari kesalahannya. 

Dengan demikian, cemburu bukan alasan untuk tidak berbaik sangka, selama tidak ada sebab yang pasti untuk mengalihkan husnu zhan tersebut menjadi su`u zhan. 

Sekali lagi, selama tidak ada alasan ataupun sebab yang pasti! Namun baik sangka pun tidak berarti tidak memberikan batasan. Bahkan yang diinginkan agar dilakukan oleh seorang suami adalah menjaga istrinya dengan memberikan “rambu-rambu” kepadanya.
Dikisahkan:

أَنَّ نَفَرًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوْا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهِيَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ، فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: لَمْ أَرَ إِلاَّ خَيرًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ قَدْ بَرَأَهَا مِنْ ذَلِكَ. ثُمَّ قاَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلاَّ وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ
“Ada sekelompok orang dari kalangan Bani Hasyim masuk ke tempat Asma` bintu ‘Umais radhiyallahu ‘anha. Lalu masuklah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, ketika itu Asma` telah menjadi istrinya . Abu Bakr pun tidak suka melihat orang-orang tersebut masuk ke tempat istrinya. Diceritakanlah hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Mendengar pengaduan Abu Bakr tersebut, beliau bersabda: ‘Aku tidak melihat kecuali kebaikan.’ Beliau juga bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah menyucikan/melepaskan Asma` dari prasangka yang tidak benar.’ Kemudian beliau naik ke atas mimbar seraya bersabda: ‘Setelah hariku ini, sama sekali tidak boleh ada seorang pun lelaki yang masuk ke tempat mughibah kecuali bila bersama lelaki itu ada satu atau dua orang yang lain.” (HR. Muslim no. 5641)

Tampak dalam hadits di atas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan untuk berbaik sangka kepada istri bila memang tidak ada yang perlu diragukan dari dirinya. 

Namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan aturan agar seorang lelaki tidak masuk ke tempat wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah. Aturan ini dimaksudkan sebagai penjagaan agar tidak timbul zhan dan hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan peringatan kepada lelaki:



إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ. يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian masuk ke tempat wanita.” 
Seorang lelaki dari kalangan Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim)

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita terkecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim)
Tujuan diberikannya peringatan seperti ini antara lain untuk menjaga dan menghindarkan dari perkara-perkara yang tidak sepantasnya. Dengan mematuhi aturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini berarti kita tidak membiarkan satu celah pun bagi setan untuk melemparkan was-was ke dalam hati. 

Karena keraguan dan was-was terhadap pasangan hidup akan menghancurkan keluarga dan meruntuhkan rumah tangga. Sebelum menutup pembahasan, kita kembali dahulu kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلاَ تَجَسَّسُوا
“Dan janganlah kalian memata-matai…” (Al-Hujurat: 12)
Juga pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلاَ تَجَسَّسُوا
“Dan janganlah kalian memata-matai sesama kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 6482)
Larangan untuk melakukan tajassus dalam ayat dan hadits yang mulia di atas juga ditujukan kepada pasangan suami istri. 

Istri tidak boleh melakukan tajassus terhadap suaminya, dan sebaliknya suami pun tak sepantasnya melakukan tajassus terhadap keluarganya guna menangkap basah kesalahan yang dilakukan istrinya, mencari-cari celah untuk menyalahkan serta menyudutkannya, atau sekedar membuktikan kecemburuan yang tidak beralasan. 

Karena ketidakbolehan mencari-cari kesalahan ini, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan kepada para suami yang sekian lama berada di rantau atau safar keluar kota agar tidak mendadak pulang ke keluarga mereka tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, apalagi datang tiba-tiba di waktu malam. 

Shahabat yang mulia Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ طُرُوْقًا
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila seorang lelaki/suami mendatangi keluarga/istrinya (dari safar yang dilakukannya) pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 5243)
Larangan ini dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً
“Apabila salah seorang kalian sekian lama pergi meninggalkan rumah (safar) maka janganlah ia pulang (kembali) kepada keluarganya pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 5244)
Dua hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya: bab La Yathruq Ahlahu Idza Athalal Ghaibah Makhafatan An Yukhawwinahum Au Yaltamisu ‘Atsaratihim, artinya: Tidak boleh seseorang mendatangi keluarga/istrinya, bila ia sekian lama meninggalkan rumah (bepergian/safar) karena khawatir menganggap mereka tidak jujur/berkhianat atau mencari-cari kesalahan/ketergeliciran mereka.

Larangan tersebut dikaitkan dengan pulang dari bepergian yang lama, karena seseorang yang meninggalkan keluarganya disebabkan suatu urusan di waktu siang dan akan kembali pada waktu malam (pergi cuma sebentar/tidak lama) tidak akan mendapatkan perkara yang mungkin didapatkan oleh seseorang yang sekian lama bepergian meninggalkan keluarganya. 

Bila orang yang pergi sekian lama ini datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dikhawatirkan ia akan mendapatkan perkara yang tidak disukainya. Bisa jadi ia dapatkan istrinya tidak bersiap menyambut kedatangannya, belum membersihkan diri dan berhias/berdandan sebagaimana yang dituntut dari seorang istri. 

Sehingga hal ini akan menyebabkan menjauhnya hati keduanya . Bisa jadi pula ia dapatkan istrinya dalam keadaan yang tidak disukainya. Sementara, syariat ini menganjurkan untuk menutup kejelekan/cacat dan cela. 

Ketika ada seseorang menyelisihi larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ia pulang ke istrinya pada waktu malam tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ternyata ia mendapatkan ada seorang lelaki di sisi istrinya. Orang ini diberi hukuman seperti ini (berupa pengkhianatan istrinya) karena ia sengaja menyelisihi perintah Rasul. 

Kisahnya disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطْرَقَ النِّسَاءُ لَيْلاً، فَطَرَقَ رَجُلاَنِ كِلاَهُمَا وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para istri didatangi pada waktu malam (setelah si suami pulang dari bepergian yang lama tanpa pemberitahuan akan kepulangannya –pent.). Ternyata ada dua orang yang melanggar larangan ini. Keduanya pulang pada waktu malam dari bepergian lama (tanpa pemberitahuan), maka masing-masing dari keduanya mendapati bersama istrinya ada seorang lelaki.”
Yang perlu diperhatikan, larangan pulang kepada keluarga/istri di waktu malam setelah bepergian lama ini tidak berlaku atas orang yang terlebih dahulu menyampaikan kabar kedatangannya kepada keluarganya.
Dari hadits ini kita bisa memetik faedah tentang tidak disenanginya mempergauli istri dalam keadaan ia belum berbersih diri. Tujuannya agar si suami tidak mendapati perkara yang membuat hatinya “lari” dari sang istri. 

Dalam hadits ini juga ada anjuran untuk saling mengasihi dan mencintai, khususnya di antara suami istri. Walaupun secara umum suami istri sudah saling mengetahui kekurangan dan kelemahan masing-masing, namun syariat tetap menekankan untuk menghindarkan perkara-perkara yang bisa membuat hati keduanya saling berjauhan, yang pada akhirnya bisa melunturkan cinta… Sungguh ini tidaklah diharapkan!

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar