Kamis, 30 April 2015

Hubungan intim di malam Jumat



Tanya:
Assalamu ‘alaikum.
Ustadz, saya sering mendengar dari kebanyakan orang yang mengatakan bahwa hubungan intim pada malam Jumat adalah sunah Nabi.
Bahkan ada yang menghubungkan dengan keutamaan seperti membunuh kaum Yahudi. Apakah benar adanya?
Abu Abdurrohman (dwidkpk**@yahoo.***)

Jawab:
Wa’alaikumussalam.
Kami belum pernah menemukan ayat Alquran atau hadis sahih yang menunjukkan anjuran tersebut.
Jika ada yang menyampaikan hal tersebut maka dia diminta untuk menyampaikan dalil. (Jawaban Ustadz Abdullah Zaen, M.A. webnya bernama tunasilmu.com)
Tambahan dari Ustadz Ammi Nur Baits:
Terdapat sebuah hadis yang mengisyaratkan anjuran hubungan intim di malam jumat,
Dari Aus bin Abi Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من اغتسل يوم الجمعة وغسّل وغدا وابتكر ومشى ولم يركب ودنا من الإمام وأنصت ولم يلغ كان له بكل خطوة عمل سنة
Barang siapa yang mandi pada hari Jumat dan memandikan, dia berangkat pagi-pagi dan mendapatkan awal khotbah, dia berjalan dan tidak berkendaraan, dia mendekat ke imam, diam, serta berkonsentrasi mendengarkan khotbah maka setiap langkah kakinya dinilai sebagaimana pahala amalnya setahun.” (H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Imam An-Nawawi dan Syekh Al-Albani)
Sebagian ulama mengatakan, “Kami belum pernah mendengar satu hadits sahih dalam syariat terutama yang berkaitan dengan hari jum’at yang memuat pahala yang sangat banyak selain hadis ini.”
Karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan semua amalan di atas, untuk mendapatkan pahala yang diharapkan.” (Al-Mirqah, 5:68)
Disebutkan dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, bahwa ada sebagian ulama yang mengartikan kata “Memandikan” dengan ‘Menggauli Istri’, karena ketika seorang suami melakukan hubungan intim dengan istri, berarti, dia memandikan istrinya.
Dengan melakukan hal ini sebelum berangkat shalat Jumat, seorang suami akan lebih bisa menekan syahwatnya dan menahan pandangannya ketika menuju masjid. (Lihat Aunul Ma’bud, 2:8)
Jika kita menganggap pendapat ini adalah pendapat yang kuat maka anjuran melakukan hubungan intim di hari Jumat seharusnya dilakukan sebelum berangkat shalat Jumat di siang hari, bukan di malam Jumat, karena batas awal waktu mandi untuk shalat Jumat adalah setelah terbit fajar hari Jumat.
Allahu a’lam


___________________________________________________________________
 Tambahan Dari Artikel Lainnya


Anjuran Hubungan Intim pada Malam Jum’at

Di kalangan awam, terjadi pemahamann bahwa pada malam Jum’at itu disunnahkan. Bahkan inilah yang dipraktekkan. Memang ada hadits yang barangkali jadi dalil, namun ada pemahaman yang kurang tepat yang dipahami oleh mereka.
Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ada ulama yang menafsirkan maksud  hadits penyebutan mandi dengan ghosala bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci anggota badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Bahkan inilah makna yang lebih tepat.
Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,
قال الإمام أحمد : (غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع
Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian ditafsirkan pula oleh Waki’.
Tafsiran di atas disebutkan pula dalam Fathul Bari 2: 366 dan Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Tentu hubungan intim tersebut mengharuskan untuk mandi junub.
Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud hubungan intim adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya. Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak memahaminya pada malam Jum’at.
وقال السيوطي في تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة.
As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits tersebut berkata: Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at (artinya bukan di malam hari, -pen)? Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala: (1) pahala mandi Jum’at, (2) pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi). Yaitu hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.
Dan sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al Majmu’, 1: 326)
Intinya, sebenarnya pemahaman kurang tepat yang tersebar di masyarakat awam. Yang tepat, yang dianjurkan adalah hubungan intim pada pagi hari ketika mau berangkat Jumatan, bukan di malam hari.
Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena tafsiran yang berbeda dari mereka mengenai hadits yang kami bawakan di awal.
Wallahu a’lam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Mabna 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 4 Rabi’ul Awwal 1434 H

 

Seorang Wanita Menasehati Sang 'Alim




Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.”

Lalu dikatakan, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin.”

Memang benar, sebuah nasihat akan banyak membawa manfaat apabila nasihat tersebut bersumber dari ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

Namun, sebuah nasihat yang tidak berlandaskan ilmu, justru akan membawa malapetaka dan kehancuran, karena pada hakikatnya hal itu bukanlah nasihat, melainkan bisikan-bisikan dan was-was setan.

Masalahnya, apakah sebuah nasihat hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja dan tidak mungkin dilakukan oleh kaum wanita?

Kisah berikut ini menunjukkan, bahwa kaum Hawa pun dapat memberikan andil dalam memberikan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan mereka. Semoga bermanfaat. Allahul-Muwaffiq.


Alkisah

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa’, dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau mengatakan,

‘Sesungguhnya, dahulu di zaman Bani Israil ada seorang laki-laki yang faqih, ‘alim, abid, dan mujtahid. Dia memiliki seorang istri yang sangat ia kagumi dan cintai.

Lalu meninggallah sang istri tersebut, sehingga membuat hatinya sangat sedih. Dia merasa sangat berat hati menerima kenyataan tersebut, sampai-sampai ia mengunci pintu, mengurung diri di dalam rumah, dan memutus segala hubungan dengan manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat bertemu dengannya.

Lalu ada seorang wanita cerdik yang mendengar berita tersebut, maka dia pun datang ke rumah Sang Alim seraya mengatakan kepada manusia,

“Sungguh, saya sangat memerlukan fatwa darinya dan saya tidak ingin mengutarakan permasalahan saya, melainkan harus bertemu langsung dengannya.”

Akan tetapi, semua manusia tidak ada yang menghiraukannya. Walau demikian, ia tetap berdiri di depan pintu menunggu keluarnya Sang Alim.

Dia berujar, ‘Sungguh, saya sangat ingin mendengarkan fatwanya. Lalu, salah seorang menyeru, ‘(Wahai Sang Alim) sungguh di sini ada seorang wanita yang sangat menginginkan fatwamu.’ Dan wanita itu menambahkan, ‘Dan aku tidak ingin mengutarakannya melainkan harus bertemu langsung dengannya tanpa ada perantara.’ Akan tetapi, manusia pun tetap tidak menghiraukannya. Meski demikian, dia tetap berdiri di depan pintu dan tidak mau beranjak.

Akhirnya, Sang Alim menjawab, ‘Izinkanlah dia masuk.’

Lalu, wanita itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh, aku datang kepadamu karena suatu pemasalahan.’

Sang Alim menjawab, “Apakah pemasalahanmu?’

Wanita memaparkan, “Sungguh, aku telah meminjam perhiasan kepada salah satu tetanggaku dan aku selalu memakainya sampai beberapa waktu lamanya, lalu suatu ketika mereka mengutus seseorang kepadaku untuk mengambil kembali barang itu kepadanya apakah aku harus mengembalikannya?’

Maka, Sang Alim menjawab, ‘Iya, demi Allah, engkau harus memberikan kepada mereka.’

Lalu sang wanita menyangkal, ‘Tetapi, aku telah memakainya sejak lama sekali.’

Sang Alim menjawab, ‘Tetapi mereka lebih berhak untuk mengambil kembali barang yang telah dipinjamkan kepadamu sekalipun telah sejak lama.’

Lalu, wanita itu mengatakan, ‘Wahai Sang Alim, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu. Mengapakah engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan sesuatu yang telah dititipkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin mengambil kembali titipan-Nya, sedang Dia lebih berhak untuk mengambilnya darimu?’

Maka, dengan ucapan itu tersadarlah Sang Alim atas peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan perkataan si wanita tersebut dapat bermanfaat dan menggugah hatinya.

Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dalam kitab al-Jana’iz Bab Jami’ul-Hasabah fil-Mushibah (163).

Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq beliau terhadap kitab Jami’ul-Ushul (6/339) berkata, “Kisah di atas sampai kepada Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dengan sanad shahih.”


Ibrah

Musibah adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pengukur keimanan hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ

Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Qs. Muhammad: 31).

Kesabaran sangat dibutuhkan tatkala kita dilanda musibah. Kewajiban setiap muslim ketika mendapat musibah ialah mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala dan ganti yang lebih baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita membaca doa tatkala tertimpa suatu musibah. Beliau mengatakan,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أَجِرْنِي في صِيْبَتِي وَأَخْلِفُ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

Tidaklah seorang muslim yang tertimpa suatu musibah lalu membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah (yaitu), ‘Sesungguhnya kami milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada-Nya jualah kita akan dikembalikan. Ya Allah, berilah pahala pada musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik darinya’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya ganti yang lebih baik daripada yang sebelumnya.’” (HR. Musim, 4/475, at-Tirmidzi, 11/417, Ahmad, 33/82).

Dengan demikian, sungguh sangatlah indah perkara yang terjadi pada diri seorang muslim. Karena semua perkara yang menimpanya –berupa kenikmatan maupun kesulitan, kelapangan maupun musibah— semuanya adalah baik baginya,

sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sifatkan dalam sabdanya,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh mengherankan perkara (urusan) orang muslim, semua perkara (urusan)nya baik dan hal itu tidaklah terjadi kecuali pada diri seorang muslim. Apabila diberi kenikmatan ia bersyukur maka hal itu baik baginya. Dan apabila ditimpa kesulitan ia bersabar maka hal itu pun baik baginya.” (HR. Muslim. 14/280).

Beratnya cobaan sering menjadikan manusia lupa dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kita semua adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kepada-Nya pulalah kita akan dikembalikan.

Namun, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini, sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat.

Mereka berlarut-larut dalam kesedihan, sehingga melalaikan dirinya sendiri.

Bahkan, terkadang mereka berteriak-teriak histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh syariat, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

Bukan termasuk golongan kami seorang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliah.” (HR. Bukhari, 5/41, at-Tirmidzi, 4/119, an-Nasa’i, 6/408).

Bersedih adalah suatu kewajaran terutama karena ditinggal oleh orang-orenga yang sangat dicintai.

Akan tetapi, janganlah kesedihan tersebut melampaui batas dari yang dibolehkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعَ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يُرْضِي رَبَّنَا

Mata boleh menangis, hati boleh bersedih, tetapi kita tidak berkata-kata kecuali hanya (dengan perkataan) yang diridhai oleh Rabb (Tuhan –ed.) kita.” (HR. al-Bukhari: 5/57).

Memang, setan sangatlah lihai dalam mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam. Dari sinilah pentingnya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. adz-Dzariyat: 55).

Hanya saja, cara kita memberikan nasihat harus benar-benar diperhatikan. Cara menasihati seorang waliyul-amri (penguasa) berbeda dengan cara menasihati rakyat.

Menasihati orang tua berbeda dengan cara menasihati anak kita sendiri.

Demikian pula, cara menasihati seorang yang alim yang memiliki pengaruh dan ucapan yang didengar oleh masyarakat hendaklah berbeda dengan cara kita menasihati seorang yang awam.

Hendaklah menasihati dengan cara yang lembut, dengan kata-kata yang halus, dan tidak dilakukan di depan khalayak ramai, sebagaimana yang telah dilakukan wanita tersebut.

Mudah-mudahan dengan itu mereka akan tersadar dan kembali pada jalan yang benar.

Karena, seorang alim bukanlah orang yang ma’shum yang terbebas dari kesalahan.

Mereka pun manusia biasa yang banyak melakukan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاؤٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ

Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat darinya.” (HR. at-Tirmidzi, 9/59, Ibnu Majah, 12/302, Ahmad, 26/123).


Mutiara Kisah

Beberapa pejalaran penting yang dapat kita rangkum dari kisah di atas adalah:

1.                         Terkadang seorang ahlul ilmi dapat lupa dan lalai dari ilmu yang selama ini ia ajarkan.

Sebagaimana kisah Sang Alim yang faqih di atas, dia telah lupa terhadap apa yang selama ini selalu dia ajarkan tentang wajibnya seorang untuk tetap bersabar di kala terkena musibah.

2.                         Kewajiban bagi para ahlu ra’yi dan yang siapa saja yang memiliki pemahaman, hendaklah mengingatkan saudaranya yang lain dari hal-hal yang terkadang terlalaikan darinya.

Dan hal ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, melainkan kaum wanita pula apabila memang memiliki kemampuan dalam hal tersebut.

Tentunya hal itu dilakukan apabila aman dari fitnah dan tidak melanggar larangan dan keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang telah dilakukan oleh wanita dalam kisah di atas yang dapat menyadarkan kembali seorang alim yang tengah lalai dari peristiwa besar yang menimpanya.

3.                         Ilmu dan pemahaman adalah titik temu yang menjadi persamaan antara laki-laki dan wanita, karena ilmu bukanlah hak yang dimonopoli oleh kaum laki-laki saja.

Kaum wanita pun berhak mengenyam ilmu dan pemahaman. Bahkan, kejadian-kejadian yang terjadi pada diri seorang wanita menuntut mereka untuk lebih mengilmui hukum-hukum syariat.

Thaharoh (bersuci), mendidik anak, dan lain-lain adalah permasalahan yang sangat membutuhkan ilmu dan pemahaman yang benar.

4.                         Pentingnya membuat suatu permisalan dalam menjelaskan suatu permasalahan, karena sebuah contoh dapat menggambarkan suatu masalah dengan lebih jelas.

Dan ini pulalah metode al-Qur’an dalam menjelaskan sebuah permasalahan.

Perhatikanlah ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan tentang kalimat tauhid dan kalimat-kalimat kekufuran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ {24} تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {25} وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ اْلأَرْضِ مَالَهَا مِن قَرَارٍ

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya.

Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat:

Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Qs. Ibrahim: 24-26).

5.                         Disenangi menghibur manusia dengan menyebutkan kabar-kabar orang-orang terdahulu dan kisah-kisah berharga yang sarat dengan pelajaran.

 Terlebih apabila kisah-kisah tersebut bersesuaian dengan keadaan orang yang sedang diberi nasihat, karena metode yang demikian akan lebih menggugah hatinya dan menyadarkan dari kelalaiannya sehingga ia dapat terhibur dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut.

Wallahu A’lam.

Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 4 th. ke-8 1429 H/2008
Artikel www.KisahMuslim.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.