Kamis, 04 Juni 2015
Bidadari Yang Terluka
Satu kruk yang selalu setia ditangannya selalu terbayang setiap kali mengenang beliau.
Juga dua sepatunya yang berukuran tak sama.
Seperti ungkapnya, "Memang kaki ini istimewa." dan beliau tersenyum,
meskipun saya khawatir dengan guratan kesedihan dihatinya.
Saya juga selalu terbayang dengan langkahnya yang goyang dan pelan
-tapi mantap- menapak ke tanah.
Juga keringatnya yang selalu mengalir dalam keletihan.
Saya senantiasa mengenangnya karena beliau tidak pernah letih menjalani roda dakwah.
cacat kaki tak pernah menghalanginya menebarkan kebaikan.
Dengan keterbatasan fisiknya beliau mampu melakukan banyak hal - yang saya yakini -
dikarenakan semangatnya yang luar biasa untuk berbuat.
Beliaulah jelmaan seorang wanita mulia yang hidup pada masa jihad dulu,
saat Manshur bin Ammar memerintahkan kaum muslimin bejihad di jalan Allah.
Kemiskinan tidak menghalanginya untuk menyambut seruan itu.
Maka,, dibungkusnya dua kendali kuda miliknya dan digoreskannya selembar surat.
"Ibnu Ammar, anda memerintahkan kaum muslimin berjihad di jalan Allah.
Demi Allah, aku tidak memiliki harta kecuali pengekang kuda ini
yang saya berikan kepada anda.
Demi Allah, jadikanlah keduanya ikatan kuda prajurit yang turut berperang di jalan Allah.
Semoga dengan ini Allah mengasihi saya."
Gambaran wajah perempuan itu saya banyangkan sebagai wajah beliau.
mereka sama-sama mempunyai keterbatasan.
Perempuan itu tak punya harta, sedang beliau tak punya kesempurnaan fisik.
Semua itu tidak menghalanginya mempersembahkan diri untuk jihad.
Subhanallah ...
Sebagaimana ungkapan istri mujahidin di Afganistanpada Zainab Al-Ghazali,
"iBunda, apalagi yang harus kami berikan untuk jihad ini ?
tangan kami telah mengeras dan kasar,
perut kami terbiasa kosong menahan lapar,
dan hati ini kebal mendengar kabar duka.
Apalagi yang dapat kami persembahkan untuk jihad ini, ibunda ?"
Lalu, kenapa saya juga tak bisa banyak berbuat denga harta
dan kesempurnaan fisik serta waktu luang yang saya miliki ?
Pun bagaimana ia menerima cobaan yang sangat berat itu,
semua butuh keberanian dan jiwa besar.
Bahkan airmata itu, selalu terkenang dalam hati -insyaalah untuk selamanya -
kala beliau menceritakan kepedihan hatinya,
di sela-sela kebahagian dua pengantin yang bersanding saat itu.
Kerut wajahnya saya cermati dengan baik, juga rintihan hatinya.
Beliau berduka.
"Dik, saya orang yang luar biasa,
maka seorang yang bisa menggandeng saya pun harus orang yang luar biasa."
Dan beliau tersenyum di sela derai airmatanya.
Dan saya masih menyimpan pertanyaan yang tak tahu kapan akan terjawab.
Adakah orang yang luar biasa itu ?
Bukan hanya luar biasa karena kruknya,
tetapi luar biasa karena keikhlasan yang membumbung ke langit,
yang akan disambut para malaikat.
by : Koesmarwanti "Catatan Seorang Ukhti"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar