Selasa, 23 Juni 2015

Sejarah Nama Bulan Ramadhan


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Sejak dahulu, sebelum datangnya islam, bangsa arab telah menggunakan tahun qomariyah. Hanya saja tidak semua masyarakat jahiliyah di seluruh penjuru jazirah arab sepakat dalam menentukan kalender tertentu. Sehingga penanggalan mereka berbeda-beda. Meskipun demikian, mereka mengenal kalender qamariyah, dan mereka gunakan konsep ini untuk membuat penanggalan bagi suku mereka masing-masing.
Kalender qamariyah yang mereka kenal sejak zaman dahulu sama dengan kalender qamariyah yang berlaku saat ini. Dalam satu tahun ada dua belas bulan, dan awal bulan ditentukan berdasarkan terbitnya hilal (bulan sabit pertama). Mereka menetapkan bulan Muharram sebagai awal tahun. Mereka juga menetapkan empat bulan haram (bulan suci). Mereka menghormati bulan-bulan haram ini. Mereka jadikan empat bulan haram sebaga masa dilarangnya berperang antar-suku dan golongan.
Kemudian, sebagian informasi menyebutkan, ada lima bulan – Rabi’ul awal – akhir, Jumadil awal – akhir, dan Ramadhan – yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim yang terjadi di bulan tersebut.
–  Rabi’ul awal dan akhir diambil dari kata rabi’ [arab: ربيع] yang artinya semi. Karena ketika penamaan bulan Rabi’ bertepatan dengan musim semi.
–  Jumadil Ula dan Akhirah, diambil dari kata: jamad [arab: جماد], yang artinya beku. Karena pada saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim dingin, dimana air membeku.
–  Sedangkan Ramadhan diambil dari kata Ramdha’ [arab: رمضاء], yang artinya sangat panas. Karena penamaan bulan ini bertepatan dengan musim panas.
(http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)
Asal Penamaan Ramadhan
An-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, menyebutkan beberapa pendapat ahli bahasa, terkait asal penamaan ramadhan,
Pertama, diambil dari kata ar-Ramd [arab: الرمض] yang artinya panasnya batu karena terkena terik matahari. Sehingga bulan ini dinamakan ramadhan, karena kewajiban puasa di bulan ini bertepatan dengan musim panas yang sangat terik. Pendapat ini disampaikan oleh al-Ashma’i – ulama ahli bahasa dan syair arab – (w. 216 H), dari Abu Amr.
Kedua, diambil dari kata ar-Ramidh [arab: الرميض], yang artinya awan atau hujan yang turun di akhir musim panas, memasuki musim gugur. Hujan ini disebut ar-Ramidh karena melunturkan  pengaruh panasnya matahari. Sehingga bulan ini disebut Ramadhan, karena membersihakn badan dari berbagai dosa. Ini merupakan pendapat al-Kholil bin Ahmad al-Farahidi – ulama tabiin ahli bahasa, peletak ilmu arudh – (w. 170 H).
Ketiga, nama ini diambil dari pernyataan orang arab, [رمضت النصل] yang artinya mengasah tombak dengan dua batu sehingga menjadi tajam. Bulan ini dinamakan ramadhan, karena masyarakat arab di masa silam mengasah senjata mereka di bulan ini, sebagai persiapan perang di bulan syawal, sebelum masuknya bulan haram. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Azhari – ulama ahli bahasa, penulis Tahdzib al-Lughah – (w. 370 H).
Kemudian an-Nawawi menyebutkan keterangan al-Wahidi,
قال الواحدي: فعلى قول الأزهري: الاسم جاهلي، وعلى القولين الأولين يكون الاسم إسلاميًا
Al-Wahidi mengatakan, berdasarkan keterangan al-Azhari, berarti ramadhan adalah nama yang sudah ada sejak zaman Jahiliyah.Sementara berdasarkan dua pertama, berarti nama ramadhan adalah nama islami.
(Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, 3/126).
Demikian,
Allahu a’lam.
Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Minggu, 14 Juni 2015

Untukmu yang Sedang Menanti

 

Sekarang, Tunggu Apa Lagi…

Rosululloh Shollohu `alaihi Was Salam bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاهَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda ! 

Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, 

karena nikah itu lebih menundukan pandangan, 

dan lebih membentengi farji (kemaluan). 

Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), 

karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.

 (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, 

Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).


Jadi kesimpulannya adalah segeralah menikah ketika badai fitnah telah menerjangmu 

sebagai bentuk penjagaan terhadap harga diri dan agamamu. 

Dan jauhilah dan jangan coba-coba dekati perbuatan zina dalam bentuk apapun juga.

Karena telah jelas bagi kita semua bahwa seluruh jalan-jalan menuju zina

 sudah Allah tutup. Dan semua itu sudah Allah haramkan dalam satu ayat:

{وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا}


“Dan janganlah kamu mendekati zina, 

sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah

dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra': 32).

Dan Rasulullah juga telah menjelaskannya dalam satu haditsnya :

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ,  وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَى، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Telah ditulis atas anak adam nasibnya (bagiannya) dari zina, 

maka dia pasti menemuinya, zina kedua matanya adalah memandang, 

zina kakinya adalah melangkah, zina hatinya adalah berharap dan berangan-angan, 

dan dibenarkan yang demikian oleh farjinya atau didustakan,”

 (HR. Bukhari, Muslim).

Dan dalam riwayat lain :

((وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلاَنِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْمَشْيُ، وَالْفَمُ يَزْنِي فَزِنَاهُ الْقُبَلُ))

“Kedua tangan berzina dan zinanya adalah meraba, 

kedua kaki berzina dan zinanya adalah melangkah, 

dan mulut berzina dan zinanya adalah mencium.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, Kembalilah Kepada Allah… dan Bertaubatlah Kepada-Nya….

Sesungguhnya Allah telah menyebutkan bahwa diantara sifat-sifat orang mu’min 

yang akan beruntung adalah seorang yang senantiasa menjaga kemaluannya dari zina.

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ, إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ, فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali kepada istri-istri mereka 

atau budak yang mereka miliki maka mereka tidak tercela. 

Barang siapa mencari selain itu maka merekalah orang-orang yang melampaui batas” 

(QS. Al-Mu’minun 5-7)

Kembalilah Kepada Allah… dan Bertaubatlah Kepada-Nya….

Sesungguhnya Allah akan membalas mereka yang berbuat ihsan dengan ihsan

yaitu orang orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan fahisyah.

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى, الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَة

“Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi 

untuk Allah balas orang-orang yang berbuat kejelekan atas apa-apa yang mereka kerjakan, 

dan Allah balas orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan) dengan ihsan

yaitu orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan fahisyah kecuali dosa-dosa kecil, 

sesungguhnya Allah Maha luas ampunan-Nya…” (QS. An-Najm 31-32).

Kembalilah Kepada Allah… dan Bertaubatlah Kepada-Nya….

Sesungguhnya Allah mempersiapkan kenikmatan-kenikmatan 

dan kelezatan-kelezatan disisiNya yang jauh lebih baik dan lebih kekal 

untuk orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Allah 

serta menjauhi dosa-dosa besar dan fahisyah.

فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ, وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

“Dan suatu apapun yang di berikan kepada kalian itu hanyalah kenikmatan hidup didunia, 

dan apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal, 

untuk orang-orang yang beriman dan hanya kepada Rabb mereka, 

mereka bertawakkal. Dan (bagi) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar 

dan perbuatan-perbuatan keji (fahisyah) 

dan apabila mereka marah mereka memaafkan.” (QS. Asy-Syura 36-37).

Kembalilah Kepada Allah… dan Bertaubatlah Kepada-Nya….

Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Jumat, 12 Juni 2015

Dianjurkan Mengucapkan Selamat Hari Jumat?



Bolehkah kita saling mengucapkan ‘selamat hari jumat’?
karena hari jumat kan hari raya. Sementara ketika hari raya, kita mengucapkan selamat Idul Fitri.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Terdapat banyak hadis yang menyebutkan keutamaan hari jumat.
Diantaranya, hadis yang menyebutkan bahwa hari jumat adalah hari raya bagi umat islam.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ عِيدًا، فَاغْتَسِلُوا، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
“Wahai kaum muslimin, sesungguhnya saat ini adalah hari yang dijadikan oleh Allah sebagai hari raya untuk kalian.
Karena itu, mandilah dan kalian harus menggosok gigi.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Ash-Shaghir 358, dan dihasankan al-Albani).
Kemudian, hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ يَوْمَ الْجُمْعَة يَوْمُ عِيدٍ ، فَلَا تَجْعَلُوا يَوْم عِيدكُمْ يَوْم صِيَامكُمْ , إِلَّا أَنْ تَصُومُوا قَبْله أَوْ بَعْده
“Sesungguhnya, hari Jumat adalah hari raya. Karena itu, janganlah kalian jadikan hari raya kalian ini sebagai hari untuk berpuasa, kecuali jika kalian berpuasa sebelum atau sesudah hari Jumat.” (HR. Ahmad 8246 dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Ibnul Qoyim menyebutkan daftar keutamaa hari jumat. Diantara yang beliau sebutkan adalah
أنه يوم عيد متكرر في الأسبوع
Hari jumat adalah hari raya yang berulang dalam setiap pekan. (Zadul Ma’ad, 1/368).
Dengan demikian, kaum muslimin memiliki 3 hari raya:
1.    Idul fitri dan
2.    idul adha, yang itu berulang setiap tahun.
3.    Dan hari jumat yang itu berulang setiap pekan.
Untuk dua hari raya tahunan, idul fitri dan idul adha, kita dianjurkan untuk saling mengucapkan selamat hari raya. Karena ini termasuk kebiasaan para sahabat.
Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan,
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض تقبل الله منا ومنك
“Dari Jubair bin Nufair; beliau mengatakan, ‘Dahulu, apabila para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertemu pada hari raya, mereka saling mengucapkan, ‘Taqabbalallahu minna wa minka.”” (Sanadnya hasan; Fathul Bari, 2/446)
Ibnu Aqil menyebutkan beberapa riwayat. Di antaranya dari Muhammad bin Ziyad;
beliau mengatakan, “Saya pernah bersama Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu dan beberapa sahabat lainnya. Setelah pulang dari shalat id, mereka saling memberikan ucapan, ‘Taqabbalallahu minna wa minkum.’” (Al-Mughni, 2/250; As-Suyuthi mengatakan, “Sanadnya hasan.”)
Berbeda dengan hari jumat, kita tidak menjumpai mereka saling mengucapkan selamat hari jumat atau ucapan salam lainnya khusus untuk hari jumat.
Sementara para sahabat sangat menggungkan dan memuliakan hari jumat.
Ketika tidak ada riwayat dari mereka bahwa itu dianjurkan, kita sebagai pengikut mereka sebaiknya tidak berkreasi dengan melakukannya.
Dr. Soleh al-Fauzan pernah ditanya tentang hukum mengucapkan ‘Jumat Mubarok’ (selamat hari jumat) melalui sms. Jawaban beliau,
ما كان السلف يهنئ بعضهم بعضاً يوم الجمعة ، فلا نحدث شيئاً لم يفعلوه
Dulu para ulama tidak pernah memberikan ucapan selamat antar-sesama mereka ketika hari jumat.
Karena itu, kita tidak melakukan perbuatan (dalam agama) yang belum pernah mereka kerjakan.
(Majallah Dakwah al-Islamiyah).
Keterangan yang sama disampaikan Syaikh Sulaiman al-Majid,
لا نرى مشروعية التهنئة بيوم الجمعة ، كقول بعضهم : ” جمعة مباركة ” ، ونحو ذلك ؛ لأنه يدخل في باب الأدعية ، والأذكار ، التي يوقف فيها عند الوارد ، وهذا مجال تعبدي محض ، ولو كان خيراً لسبقنا إليه النبي صلى الله عليه وسلم ، وأصحابه رضي الله عنهم
Menurut kami, tidak disyariatkan mengucapkan selamat hari jumat.
Seperti misalnya orang mengatakan, “Jumat Mubarok.” atau semacamnya.
Karena semacam ini termasuk doa dan dzikir, yang itu harus berdasarkan dalil.
Sementara doa dan dzikir termasuk ibadah mahdhah.
Jika ucapan selamat hari jumat itu suatu amal yang terpuji, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang pertama kali melakukannya.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits  (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Rabu, 10 Juni 2015

Mencium Anak-Anak Mendatangkan Rahmat


Yang Kadang Terlupakan Oleh Kedua Orang Tua :
Ternyata Mencium Anak-Anak Mendatangkan Rahmat Allah !!
Sering kita dapati seseorang yang mendidik anaknya dengan cara yang keras…dengan menggunakan pukulan..bahkan tendangan…
Bahkan jika tangannya telah lelah memukul maka iapun menggunakan tongkat atau cambuk untuk memukul anaknya.
Sementara jika bertemu dengan sahabat-sahabatnya jadilah ia orang yang paling lembut dan ramah.
Memang benar bahwa boleh bagi seorang ayah atau ibu untuk mendidik anaknya dengan memukul, akan tetapi hal itu keluar dari hukum asal.
Karena hukum asal dalam mendidik…bahkan dalam segala hal adalah dengan kelembutan.
Kita –sebagai orang tua- tidak boleh berpindah kepada metode pemukulan kecuali jika kondisinya mendesak.
Itupun tidak boleh dengan pemukulan yang semena-mena, semau kita, seperti pukulan yang menimbulkan bekas…terlebih lagi yang mematahkan tulang…
Sering syaitan menghiasi para orang tua dengan  menjadikan mereka menyangka bahwa metode kekerasan dalam mendidik anak-anak adalah metode yang terbaik dan praktis serta metode yang singkat dan segera mendatangkan keberhasilan.
Karena dengan kekerasan dalam sekejap sang anak menjadi penurut.
‘Ingatlah ini semua hanyalah was-was syaitan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَا كَانَ الرِّفْقُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا نُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Tidaklah kelembutan pada sesuatupun kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatupun kecuali akan memperburuknya” (Dishahihkan oleh Al-Albani)
Memang benar…jika seorang anak disikapi keras maka ia akan nurut dan patuh…akan tetapi hanya sekejap dan sementara…
Kenyataan yang ada menunjukan bahwa jika seorang ayah atau ibu yang senantiasa memukuli dan mengerasi anak-anak mereka akan menimbulkan dampak buruk :
1.      Jadilah kedua orang tua tersebut berhati keras…, hilang kelembutan dari mereka, karena mereka telah membiasakan kekerasan dalam hati mereka
2.      Bahkan anak-anak mereka yang sering mereka pukuli pun menjadi keras…, keras dan kasar sikap mereka dan juga keras hati mereka.
3.      Bahkan tidak jarang sang anak yang dikerasi maka semakin menjadi-jadi keburukannya.  Terutama jika sang anak merasa aman dari control kedua orang tuannya. Hal ini menunjukan sikak keras terhadap seringnya tidak membuahkan keberhasilan dalam mendidik anak-anak.
4.      Kalaupun metode kekerasan berhasil merubah sang anak menjadi seorang anak yang “tidak nakal” maka bagaimanapun akan berbeda hasilnya dengan seorang anak yang dibina dengan kelembutan. Seorang anak yang “tidak nakal” yang merupakan buah metode kekerasan tidak akan memiliki kelembutan dalam sikap dan tutur kata serta kelembutan hati yang dimiliki oleh seorang anak yang dididik dengan penuh kelembutan !!.
Adapun jika kedua orang tua bersikap lembut kepada anak-anak mereka, dan tidak memukul kecuali dalam kondisi terdesak, sehingga tidak keseringan…maka akan menimbulkan banyak dampak positif, diantaranya,
1.      Kedua orang tua tetap bisa menjaga kelembutan hati keduanya
2.      Kelembutan hati anak-anak mereka juga bisa terjaga, demikian pula akhlak anak-anak mereka menjadi akhlak yang mulia. Karena mereka telah meneladani kedua orang tua mereka yang selalu bersikap lembut dan sayang kepada mereka.
3.      Anak-anak tatkala telah dewasa maka yang mereka selalu kenang adalah kebaikan, kelembutan, ciuman kedua orang tua mereka yang telah bersabar dalam mendidik mereka. Jadilah mereka anak-anak yang berbakti yang selalu ingin membalas budi kebaikan kedua orang tua mereka.
4.      Kedua orang tua akan mendapatkan rahmat Allah dan ganjaran dari Allah karena sikap lembut mereka kepada anak-anak mereka
Abu Hurairah –semoga Allah meridhoinya- berkata :
قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk.
Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati” (HR Al-Bukhari no 5997 dan Muslim no 2318)
Dalam kisah yang sama dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya- ia berkata :
جَاءَ أَعْرَابِى إِلَى النَّبِى صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : تُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ ، فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِى صلى الله عليه وسلم أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ
“Datang seorang arab badui kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki?, kami tidak mencium mereka”.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa rahmat/sayang dari hatimu” (HR Al-Bukhari no 5998 dan Muslim no 2317)
Ibnu Batthool rahimahullah berkata, “Menyayangi anak kecil, memeluknya, menciumnya, dan lembut kepadanya termasuk dari amalan-amalan yang diridhoi oleh Allah dan akan diberi ganjaran oleh Allah.
Tidakkah engkau perhatikan Al-Aqro’ bin Haabis menyebutkan kepada Nabi bahwa ia memiliki 10 orang anak laki-laki tidak seorangpun yang pernah ia  cium, maka Nabipun berkata kepada Al-Aqro’ ((Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayang)).
Maka hal ini menunjukan bahwa mencium anak kecil, menggendongnya, ramah kepadanya merupakan perkara yang mendatangkan rahmat Allah.
Tidak engkau perhatikan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong (*cucu beliau) Umaamah putrinya Abul ‘Aash (*suami Zainab putri Nabi) di atas leher beliau tatkala beliau sedang sholat?, padahal sholat adalah amalan yang paling mulia di sisi Allah dan Allah telah memerintahkan kita untuk senantiasa khusyuk dan konsentrasi dalam sholat.
Kondisi Nabi yang menggendong Umaamah tidaklah bertentangan dengan kehusyu’an yang diperintahkan dalam sholat.
Nabi kawatir akan memberatkan Umaamah (*si kecil cucu beliau) kalau beliau membiarkannya dan tidak digendong dalam sholat.
Pada sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan teladan yang paling besar bagi kita, maka hendaknya kita meneladani beliau dalam menyayangi anak-anak baik masih kecil maupun yang besar, serta berlemah lembut kepada mereka” (Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibnu Batthool, 9/211-212)
Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ
(Barangsiapa yang tidak merahamati maka tidak dirahmati), yaitu barangsiapa yang tidak merahmati manusia maka ia tidak akan dirahmati oleh Allah Azza wa Jalla –kita berlindung kepada Allah akan hal ini-, serta Allah tidak memberi taufiq kepadanya untuk merahmati.
Hadits ini menunjukan bahwa bolehnya mencium anak-anak kecil karena rahmat dan sayang kepada mereka, apakah mereka anak-anakmu ataukah cucu-cucumu dari putra dan putrimu atau anak-anak orang lain.
 Karena hal ini akan mendatangakna rahmat Allah dan menjadikan engkau memiliki hati yang menyayangi anak-anak.
Semakin seseorang rahmat/sayang kepada hamba-hamba Allah maka ia semakin dekat dengan rahmat Allah.
Bahkan Allah mengampuni seorang wanita pezina tatkala wanita pezina tersebut merahmati seekor anjing yang menjilat-jilat tanah karena kehausan…
Jika Allah menjadikan rasa rahmat/kasih sayang dalam hati seseorang maka itu merupakan pertanda bahwa ia akan dirahmati oleh Allah…”
“Maka hendaknya seseorang menjadikan hatinya lembut, ramah, dan sayang (kepada anak-anak), berbeda dengan kondisi sebagian orang bodoh. Bahkan tatkala anaknya yang masih kecil menemuinya sementara ia sedang di warung kopi maka iapun membentak dan mengusir anaknya. Ini merupakan kesalahan.
Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik dan mulia akhlak dan adabnya.
Suatu hari beliau sedang sujud –tatkala beliau mengimami para sahabat- maka datanglah Al-Hasan bin Ali bin Abi Thoolib, lalu –sebagaiman sikap anak-anak-, Al-Hasanpun menaiki pundak Nabi yang dalam kondisi sujud. Nabipun melamakan/memanjangkan sujudnya.
Hal ini menjadikan para sahabat heran.. Mereka berkata :
هَذِهِ سَجْدَةٌ قَدْ أَطَلْتَهَا، فَظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْرٌ، أَوْ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْكَ
“Wahai Rasulullah, engkau telah memperpanjang sujudmu, kami mengira telah terjadi sesuatu atau telah diturunkan wahyu kepadamu”),
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka,
ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ، وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي، فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ
“Bukan…, akan tetapi cucuku ini menjadikan aku seperti tunggangannya, maka aku tidak suka menyegerakan dia hingga ia menunaikan kemauannya”  (HR Ahmad no 16033 dengan sanad yang shahih-pen dan An-Nasaai no 1141 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Yaitu aku tidak ingin segera bangkit dari sujudku hingga ia menyelesaikan keinginannya. Ini buah dari rasa kasih sayang.
Pada suatu hari yang lain Umamah binti Zainab putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih kecil dibawa oleh Nabi ke masjid.
Lalu Nabi sholat mengimami para sahabat dalam kondisi menggendong putri mungil ini. Jika beliau sujud maka beliau meletakkannya di atas tanah, jika beliau berdiri maka beliau menggendongnya.
Semua ini beliau lakukan karena sayang kepada sang cucu mungil. Padahal bisa saja Nabi memerintahkan Aisyah atau istri-istrinya yang lain untuk memegang cucu mungil ini, akan tetapi karena rasa kasih sayang beliau.
Bisa jadi sang cucu hatinya terikat senang dengan kakeknya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi ingin menenangkan hati sang cucu mungil.
Pada suatu hari Nabi sedang berkhutbah, lalu Al-Hasan dan Al-Husain (yang masih kecil) datang memakai dua baju –mungkin baju baru-. Baju keduanya tersebut kepanjangan, sehingga keduanya tersandung-sandung jatuh bangun tatkala berjalan.
Maka Nabi-pun turun dari mimbar lalu menggendong keduanya dihadapan beliau (di atas mimbar) lalu beliau berkata:
صَدَقَ اللهُ إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيْعْثُرَانِ فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حَدِيْثِي وَرَفَعْتُهُمَا
“Maha benar Allah…”Hanyalah harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah”, aku melihat kedua anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak sabar hingga akupun memutuskan khutbahku dan aku menggendong keduanya” (HR At-Thirmidzi no 2969 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Kemudian beliau melanjutkan khutbah beliau (lihat HR Abu Dawud no 1016 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Yang penting  hendaknya kita membiasakan diri kita untuk menyayangi anak-anak, demikian juga menyayangi semua orang yang butuh kasih sayang, seperti anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang lemah (tidak mampu) dan selain mereka.
Dan hendaknya kita menjadikan dalam hati kita rasa rahmat (kasih sayang) agar hal itu menjadi sebab datangnya rahmat Allah bagi kita, karena kita juga butuh kepada rahmat” (dari Syarah Riyaad As-Shoolihiin, dengan sedikit perubahan)
Sungguh mulia akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak…beliau menggendong anak-anak…bahkan dalam sholat beliau, karena kasih sayang kepada anak-anak …mencium anak-anak adalah ibadah…mendatangkan rahmat Allah.
Bahkan beliau pernah berjalan cukup jauh hanya untuk mencium putra beliau Ibrahim.
Anas Bin Malik –semoga Allah meridhoinya- berkata :
«مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»، قَالَ: «كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِينَةِ، فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ، وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا، فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ، ثُمَّ يَرْجِعُ»
“Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih sayang kepada anak-anak dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Putra Nabi (yang bernama) Ibrahim memiliki ibu susuan di daerah Awaali di kota Madinah.
Maka Nabipun berangkat (*ke rumah ibu susuan tersebut) dan kami bersama beliau. lalu beliau masuk ke dalam rumah yang ternyata dalam keadaan penuh asap.
Suami Ibu susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Nabipun mengambil Ibrahim lalu menciumnya, lalu beliau kembali” (HR Muslim no 2316)
Karenanya…bersabarlah wahai para orang tua dalam mendidik anak kalian…sayangilah mereka…peluklah mereka…ciumlah mereka….semuanya akan mendatangkan pahala dan rahmat Allah.
Ditulis oleh Al-Ustadz Firanda Andirja, M.A.